Rabu 23 Feb 2011 15:19 WIB

Catatan Mahasiswa Indonesia di Tripoli, Libya

Warga mengibarkan bendera Libya sebelum era Gaddafi di dalam markas militer di Benghazi, Senin (21/1).
Foto: AP
Warga mengibarkan bendera Libya sebelum era Gaddafi di dalam markas militer di Benghazi, Senin (21/1).

REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI - Kondisi dalam negei Libya dipastikan tidak akan berlangsung kondusif pascapidato untuk kali pertama Presiden Libya Muammar Ghaddafi, selam diguncang aksi unjuk rasa besar-besara. Bahkan pernyataan yang disampaikan anaknya, Saif al-Islam Ghaddafi, beberapa hasi sebelumnya, tentang akan terjadinya perang saudara sepertinya tidak akan terelakkan.

Situasi kian tidak menentu itulah yang membuat para mahasiswa yang kebetulan menimba ilmu di negara Afrika utara itu ingin angkat dari negeri tersebut. Berikut adalah situasi di Tripoli, Libya.

Kamis – Sabtu (17/2 – 19/2)

Berlangsung demo pendukung pemerintah di beberapa kawasan di ibu kota Libya (Tripoli) pada hari Kamis. Demo ini berpusat di Green Square, pusat kota Tripoli. Demo yang mengasyikkan, karena mirip parade mobil mewah. Bahkan menjadi tontonan masyarakat yang mengunjungi kawasan taman kota Green Square. Pemimpin Libya (Muammar Qadzafi) pun bergabung dengan massa pendukungnya sepanjang jalan Umar Mukhtar.

Sedangkan di kota-kota wilayah timur Libya: Benggazhi, Baidho`, Darna dan kota-kota lain lainnya berlangsung demonstrasi menuntut turunnya pemimpin Libya dan rezimnya. Demonstrasi yang berawal damai, tetapi berubah menjadi kerusuhan setelah aparat keamanan menembaki para demonstran.

Jumat (18/2) tentara disebar di penjuru kota Benggazhi dan kota-kota wilayah timur Libya. Layanan telepon dan internet di kota-kota tersebut ditutup oleh pemerintah. Di kota Tubruk , ribuan demonstran menuntut penurunan rezim. Demonstran menyerbu kantor polisi, dan merobohkan simbol-simbol kekuasaan Qadzafi (patung Green Book, foto-foto Qadzafi dari jalanan). Green Book adalah pemikiran-pemikiran Qadzafi yang dijadikan konstitusi negara. Aparat keamanan berusaha membubarkan demonstrasi dengan kekerasan.

Di kota Baidho 200 km dari ibu kota Tripoli, 13 demonstran meninggal karena peluru tajam aparat keamanan yang berusaha membubarkan demonstrasi. Aparat keamanan menutup akses bagi jurnalis untuk meliput kejadian yang sebenarnya di kota tersebut.

Di kota Darna tentara bayaran dari Afrika menyerang demonstran anti pemerintah. Di kota-kota tersebut aparat keamanan berusaha menutup akses bagi para wartawan untuk meliput demonstrasi, dan sarana-sarana telekomunikasi.

Pada hari Ahad kondisi semakin memanas, kerusuhan mulai merambah ibu kota Tripoli. Terjadi penembakan di beberap tempat di Tripoli. Korban keseluruhan selama beberapa hari demonstrasi mencapai 80 orang tewas.

Senin (22/2)

Sejak Ahad malam, aku mempersiapkan ujian materi ushul fiqh, yang akan dilaksanakan esok hari di jam kedua. Sejak pagi akupun sudah mengulang-ulang materi tersebut. Dalam keadaan tergesa-gesa akupun menuju ruangan kelas, takut terlambat ujian. Ternyata kutemui mahasiswa berkumpul di halaman kampus mengelilingi rektor yang sedang menjelaskan keadaan di Libya. Sang rektor berusaha menenangkan para mahasiswa sambil menjamin bahwa mahasiswa berada di kompleks yang aman dan terlindungi serta tersedianya logistik bagi para mahasiswa. Diapun melarang para mahasiwa untuk keluar dari kompleks kampus.

Suatu penjelasan yang justru semakin membuat gelisah sebagian mahasiwa, karena memang kita selama ini tidak mengetahui perkembangan di luar kampus secara detail. Kita tinggal dalam kompleks kampus seluas 5 hektar di pinggiran ibukota Libya (Tripoli) lengkap dengan asrama mahasiawa, yang terpisah dengan perkampungan warga Libya. Praktis kami tidak mengetahui secara jelas apa yang terjadi di luar, apalagi layanan internet beberapa hari ini ditutup oleh pemerintah.

Di pojok-pojok kampus beberapa mahasiwa Indonesia, asyik bercanda tentang pilihan pesawat yang mau dipilih ketika ada evakuasi antara pesawat Hercules yang duduknya berjajar seperti angkot atau pesawat Garuda. Sebagian yang lain mengggerutu khususnya yang berada di tingkat akhir kuliyah karena hanya tinggal 3 bulan lagi wisuda. Terlontar ide dari seoarang mahasiswa dalam canda mereka, jika ada evakuasi mahasiswa tahun empat langsung saja minta dianggap lulus dan mendapat ijazah. Ide yang logis memang...

Sekitar jam 13.00 waktu Tripoli, aku mendengar kabar kalau sebagian masyarakat Indonesia mengungsi ke kantor KBRI, yang berjarak 15 menit dengan kendaraan dari kampus. Wah...semakin panas saja kondisi Tripoli, pikir saya. Jam 15.30, saya menyaksikan liputan berita Libya di Al-Jazeera International. Akupun semakin tahu ternyata kota tempat kami berada mulai tidak aman.

Gedung parlemen sudah terbakar, pusat televisi nasional dibakar massa, dan terjadi penembakan terhadap para demonstran di beberapa wilayah ibu kota (Tripoli). Beberapa suara tembakan terdengar dari kompleks kampus kami. Lampu di sepanjang jalan dalam kompleks kampus mati atau dimatikan, suasana semakin tegang saja gumam saya.

Malam ini kerusuhan, bentrokan dan penembakan terjadi di sejumlah kawasan ibu kota : Gargaresh, Fashlum, Bin `Ashur, Tajuro, Suq Jum`ah. Padahal baru 2 hari yang lalu saya jalan-jalan di Gargaresh sambil nongkrong di kafe menikmati es krim dan juice segar bersama beberapa orang masyarakat pekerja di salah satu perusahaan konstruksi milik pemerintah Indonesia, dengan sebuah keoptimisan kalau kerusuhan tidak akan sampai Tripoli…

Perkembangan peristiwa yang sangat cepat... Angkatan Udara Tentara Libya, malam ini mengeluarkan perintah penggempuran udara kota Benggazhi yang telah jatuh ke tangan para revolusioner. Dua orang pilot pesawat tempur menolak perintah tersebut dan mendarat di Malta. Sumber berita menyebutkan: para demonstran di kawasan Suq Jum`ah yang terletak di Tripoli, ditembaki dengan pesawat tempur.

Beberapa diplomat dan duta negara Libya di luar negeri mengundurkan diri, bahkan utusan Libya di PBB juga mundur, sebagai bentuk protes terhadap penggunaan kekerasan oleh pemerintah dalam menghadapi rakyat sipil.

Penguasa sudah bertekad untuk menghabisi para pemberontak dengan senjata dan militer. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Syaiful Islam (putera Muammar Qadzafi) dalam pidatonya tadi malam. Dia menawarkan dua pilihan: dialog untuk reformasi atau pertempuran bersenjata. Sambil bertekad kalau pecah pertempuran maka tentara dan rakyat siap bertempur mempertahankan rezim sampai akhir peluru dan akhir manusia. Dia pula mengingatkan

bahwa Libya berbeda dengan Mesir dan Tunisia, Libya terdiri dari kabilah-kabilah yang akan terjebak pada perang saudara kalau dialog tidak terwujud. Sambil menegaskan bahwa setiap kabilah sudah siap dengan senjatanya masing-masing.

Sebuah analisa di BBC Arabic, justru menampilkan sesuatu yang berbeda. Dia merilis bahwa Libya terdiri dari 61 kabilah, tetapi saat ini mayoritas kabilah mendukung revolusi rakyat yang menginginkan tumbangnya rezim. Kalau sudah begini kondisinya... Apa akhir dari kekacauan politik di Libya ini? Jawabannya akan kita temui dalam hitungan jam mendatang... Dari pojok kawasan Gerbang Jebes – Tripoli

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement