Jumat 21 Nov 2014 23:17 WIB

Biaya Produksi Tinggi, Sejumlah Petani Sayuran di Australia Terancam Merugi

Red:
abc news
abc news

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Petani sayur di Australia merasakan biaya produksi yang semakin tinggi, hingga sekelompok industri mengklaim jika mereka terancam terjerat utang karena biaya operasional yang besar. Di saat yang bersamaan, harga sayuran justru sedang melemah.

Kelompok peneliti dari Australian Bureau of Agricultural Resource Economics and Sciences (ABARES) mengungkapkan bahwa harga produksi sayuran telah meningkat hingga 10 persen dalam dua tahun terakhir. Para petani mengatakan harga-harga komoditas saat ini sangat rendah, sehingga sangat tidak mungkin untuk meningkatkan nilai bisnis.

Andrew White, manajer dari AUSveg, badan industri dan pengembangan pertanian, juga mengatakan banyak hal yang menyebabkan harga produksi meningkat. "Biaya listrik, bensin, tenaga kerja, sangat mempengaruhi dan menyebabkan sulit untuk bisa mendapat keuntungan," ujar White baru-baru ini.

"Banyak hal yang mempengaruhi para petani saat ini, sehingga menyebabkan kenaikan harga," tambahnya.

Menurutnya juga tren peningkatan produksi ini telah terjadi dalam 10 tahun terakhir.

Sementara itu, Andrew Craigie, Ketua Petani Tasmania mengatakan banyak biaya-biaya yang tak terduga yang harus dibayar petani. "Ada peningkatan dari asuransi, tarif yang dibayarkan ke pemerintah lokal, para pekerja, tukang listrik, pelayanan ban," ujarnya.

Craigie juga mengatakan para petani kesulitan untuk bisa menghadapi kenaikan harga-harga, tdak seperti mereka yang bekerja di ritel atau pedagang.

Industri sayur mayur di Australia telah menghabiskan jutaan dolar untuk pengembangan dan penelitian selama beberapa tahun terakhir.

Hal ini dibutuhkan untuk mencari cara agar bisa memproduksi lebih banyak dengan biaya yang rendah.

"Hingga batas tertentu mereka sudah bisa melakukan hal tersebut, dengan menemukan efisiensi dalam bisnis mereka. Tetapi hingga titik tertentu, ada saatnya tidak bisa lagi mencapai efisiensi tersebut."

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement