Selasa 05 May 2015 12:26 WIB

Pemerintah Selidiki Kondisi Perbudakan di Sejumlah Perkebunan Australia

Red:
abc news
abc news

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Pemerintah akan menyelidiki laporan adanya kondisi perbudakan yang dialami para pekerja asing di sejumlah perkebunan di Australia. Komisi Senat akan memeriksa semua pihak yang terlibat termasuk dalam penyalahgunaan jenis visa 417 yang dikenal sebagai working holiday visa.

Program Four Corners yang ditayangkan ABC mengungkap adanya praktik yang menyerupai perbudakan, yang dialami para pekerja asing di sejumlah perkebunan dan pabrik pengolahan ayam dan telur.

Di negara bagian Victoria, Menteri Hubungan Industrial Natalie Hutchins menyatakan pihaknya akan menyelidiki praktek tidak bertanggung jawab yang dijalankan sejumlah perusahaan jasa penyedia tenaga kerja.

"Kami sedang memproses pembentukan komite untuk melakukan investigasi. Semoha hasilnya bisa cepat diketahui," kata Hutchins kepada ABC baru-baru ini.

Sementara Senator asal Australia Barat, Sue Lines, ketua komite senat yang sekaligus menangani urusan visa, menyebut Departemen Tenaga Kerja Australia sebenarnya mengetahui meningkatnya jumlah laporan kondisi buruk yang dialami para pekerja.

Senator Lines menyatakan sekitar 40 persen laporan masuk di bulan Februari namun Depnaker tidak menindaklanjutinya.

"Saya dilapori oleh Depnaker di bulan Februari mengenai banyaknya laporan dari para pekerja asing pemegang visa 417," katanya.

Senator Lines mengatakan bukti-bukti yang diungkapkan dalam laporan Four Corners akan menjadi bahan dalam pemeriksaan komite Senat mendatang.

"Menyebut adanya perbudakan di negara ini merupakan pernyataan yang sangat keras," kata Senator Lines.

"Saya inginn Senat memeriksa bukti-bukti yang ada dan menghentikan praktek tersebut," tambahnya.

Sementara itu Allan Mahoney, ketua asosiasi petani Bundaberg Fruit and Vegetable Growers di Queensland mendukung perlunya menerjunkan petugas yang menyamar ke perkebunan dan pabrik-pabrik.

Ia mengungkapkan para pengawas sebenarnya sudah terjun ke lapangan dua kali.

Kelompok lobby Growcom direncanakan bertemu dengan para petani pemilik perkebunan yang diduga mempekerjakan orang asing dengan kondisi perbudakan.

Growcom menyatakan para petani tersebut perlu diingatkan mengenai tanggung jawab mereka.

Sementara anggota parlemen Australia Keith Pitt mendesak dibentuknya satgas nasional untuk menyelidiki para penyalur tenaga kerja ini.

Dalam perkembangan terpisah, pabrik pemrosesan daging ayam dan telur Baiada diduga menggunakan perusahaan penyalur tenaga kerja yang memperlakukan pekerjanya dengan buruk.

Dalam investigasi ABC itu terungkap sejumlah pekerja Baiada bekerja selama 18 jam perhari, 7 hari seminggu. Ini melanggar ketentuan ketenagakerjaan di Australia. Dua orang pekerja yang tadinya direkrut langsung oleh Baiada mengaku menerima tingkat gaji 25 dolar perjam. Namun kemudian keduanya dialihkan tanggung jawabnya kepada agen penyalur tenaga dan tinggal menerima 18 dolar perjam.

Dilaporkan bahwa ada pekerja yang hanya menerima 13 dolar per jam, jauh di bawah ketentuan UMR. Sumber ABC menyebutkan pekerja wanita di Baiada ditekan untuk memproses daging ayam dengan cepat, di antaranya mencapai 47 ekor ayam per menit.

Produk Baiada dijual oleh jaringan supermaket Coles dan Woolworths serta menyuplai pasokan daging ayam untuk jaringan resgtoran cepat saji Red Rooster dan KFC.

Baiada merupakan perusahaan daging ayam terbesar di Australia dengan nilai mencapai 1,3 miliar dolar pertahun.

Anggota parlemen Australia Keith Pitt mendesak pemerintah untuk menerjunkan petugas yang menyamar menjadi pekerja asing untuk membongkar kondisi perbudakan tersebut.

Sejauh ini pihak Baiada tidak bersedia memberikan komentar. Menurut catatan ABC sepanjang tahun 2014 lebih dari 180 ribu orang mendapatkan visa jenis 417, yaitu visa berlibur sekaligu bekerja di Australia selama enam bulan di satu lokasi.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement