Ahad 29 Nov 2015 18:33 WIB

Semangat Ghoffar, WNI yang Bekerja di Victoria Market Melbourne

Red:
Abdul Ghofar
Foto: abc news
Abdul Ghofar

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Abdul Ghoffar (35 tahun) baru beberapa bulan bekerja di Queen Victoria Market, Melbourne. Warga asal Jakarta ini bekerja cukup keras di pasar tersebut.

"Ini casual job, istri saya yang sekolah, saya turis, turut istri," kata Ghoffar kala berbincang dengan jurnalis Indonesia di Queen Victoria Market pada akhir September 2015 lalu.

Luar biasa pengorbanan Ghoffar mendukung pendidikan istrinya, Weni Muniarti (34), yang sedang mengambil master di bidang kesehatan masyarakat di Universitas Melbourne atas beasiswa Pemerintah Australia.

Sampai-sampai PNS yang bekerja sebagai staf ahli hakim di suatu lembaga peradilan di kawasan Jakarta Pusat ini harus mengambil cuti di luar tanggungan negara. Dari yang tadinya menjadi orang kantoran kini harus bekerja di lapangan.

"Saya kerja di Indonesia, tiap hari cuma duduk menulis, mengetik dan lain-lain. Di sini kita harus kerja keras, seperti kuli. Istilah teman-teman, kuli panggul, dari pagi jam 6 pagi sudah mulai," ungkap sarjana hukum Universitas Airlangga dan master hukum tata negara dari Universitas Indonesia ini.

Setiap hari, Ghoffar yang bekerja di Queen Victoria Market sejak Mei 2015 lalu ini sudah harus hadir di pasar pukul 06.00 untuk menata kios suvenir kaos-jaket yang dijaganya. Menata kios dibutuhkan waktu 3 jam hingga pukul 09.00. Normalnya pasar buka pukul 08.00, namun kadang stan belum siap.

"Ini tutupnya jam 15.30 kalau hari Minggu, lebih lama. Senin-Kamis pukul 14.00, Sabtu tutup pukul 15.00. Setelah tutup tak langsung bisa pulang melainkan harus membereskan dulu. Ini butuh waktu 2-2,5 jam, selesainya magrib. Jadi bisa 12 jam. Luar biasa tantangannya," tutur Ghoffar.

Di pasar tradisional yang menjual sayur-mayur, daging hingga suvenir ini, Ghoffar punya kesan sendiri. Dia menuturkan, kaos dan jaket yang dijual mulai harga AU$5 (Rp 50 ribu), mayoritas pembelinya adalah orang Indonesia.

"Yang unik, di sini pangsa pasar terbesarnya dari Indonesia, saya juga heran. Jaket-jaket ini pangsa pasarnya dari Indonesia. Misalnya orang dari Eropa beli cuma 1-2, Indonesia bisa 30 biji. Memang dibagi-bagikan, itu saya kira kultur ya. Brunei nggak terlalu, Filipina, Malaysia, Singapura, cuma itu, terbanyak Indonesia. Kalau sepi karena nggak banyak orang Indonesia dan Malaysia yang banyak beli, meski banyak orang yang ke sini tapi belinya cuma satu atau dua," cerita Ghoffar sambil terkekeh.

Berdagang di Queen Victoria Market, menurutnya, juga cukup mahal. Bosnya, seorang warga Australia dari Kamboja keturunan Tionghoa, sudah 4 tahun berjualan di pasar tradisional itu.

Selain membeli lapak yang menurut Ghoffar mencapai ribuan dollar, ada pula biaya sewa lapak yang AU$ 120 per hari, plus gaji pegawai. Pengeluaran sang bos bisa mencapai AU$ 1.500 (Rp 15 juta) per minggu. Sedangkan pendapatan, rata-rata AU$ 1.500 per hari, namun bila pembeli ramai bisa mencapai AU$ 1.700-2.000 (Rp 17 juta-Rp 20 juta).

Ghoffar dalam sebulan bekerja selama 20 hari dengan gaji per jam AU$10, sehingga total pendapatan dia bekerja di Queen Victoria Market per bulan adalah AU$ 2.400 (Rp 24 juta).

"Selain kerja di VicMart, kalau badan nggak capek, juga kerja nge-roll koran. Biasanya seminggu 3 hari, rata-rata kerja sehari dua jam. Selain nge-roll koran juga kerja di warehouse (gudang). Dari kerjaan itu kalau ditotal semua kurang lebih AU$ 3.000 (Rp30 juta)," ungkap Ghoffar.

Gaji Rp 30 juta itu sekilas cukup besar untuk standar Jakarta. Namun, ini di Melbourne, di mana biaya hidupnya lebih tinggi. Ghoffar dan istri harus menanggung biaya dua anak balita mereka, Einar (4) dan Kiral (2) yang dititipkan di daycare dengan biaya AU$101 (Rp1 juta) per anak per hari.

Namun karena sang istri mendapatkan beasiswa pemerintah Australia, maka setelah 6 bulan bermukim di Melbourne, mendapatkan subsidi child care benefit dan child care rebate sehingga dari yang tadinya harus membayar AU$101 per anak per hari menjadi AU$60 (Rp 600 ribu).

Belum lagi biaya makan untuk ukuran paling sederhana AU$10 per orang setiap kali makan, dan biaya transportasi AU$7 per orang. Dan uang sewa rumah sebulan AU$1.040 (sekitar Rp 10 juta). Bila ditotal, biaya hidup yang harus dikeluarkan keluarga Ghoffar sekitar AU$ 4.000-an sebulan (Sekitar Rp 40 juta).

"Mengapa sampai melakukan itu, artinya kerja habis-habisan? Karena biaya hidup di sini tinggi sekali," tutur pria berkaca mata ini.

Meski sudah berlelah-lelah mencari nafkah sehari-harinya, Ghoffar - seperti halnya sang istri - juga tak lelah untuk terus belajar. Ghoffar mengakui tanpa gengsi bahwa bahasa Inggrisnya belum mumpuni. Untuk itu, dia menyempatkan diri untuk mengambil kursus bahasa Inggris agar mudah dalam berkomunikasi sehari-hari.

"Di sela-sela kuli pasar masih ngambil kelas Inggris," ujar belum lama ini.

Selalu semangat, Ghoffar! 

*Dapatkan kesempatan memenangkan boneka beruang Bobbie, khas Australia, yang memiliki harum bunga lavender dengan menceritakan apa yang paling Anda sukai dari Australia. Caranya? Tulis di akun Twitter Anda dengan tag #JendelaAustralia. Ikuti akun @APlusIndonesia untuk mengetahui pemenangnya. 
 

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement