Rabu 22 Mar 2017 21:09 WIB

Pesawat Tujuan Inggris dan AS Larang Masukkan Laptop ke Kabin

Red:
abc news
abc news

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Pihak berwenang di Amerika Serikat dan Inggris memberlakukan larangan barang eletronik seperti laptop dibawa ke dalam pesawat, dan hanya bisa dimasukkan ke dalam bagasi pesawat. Sampai saat ini Australia belum memutuskan untuk melakukan tindakan serupa.

Larangan ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan badan peledak buatan yang dikenal dengan isilah (improvised explosive device atau IED) bisa dimasukkan ke dalam laptop atau tablet dan bisa digunakan untuk meledakkan pesawat. Namun, kalaupun bahan peledak itu bisa diseludupkan ke dalam pesawat, apakah penumpang akan lebih aman bila laptop itu berada di dalam bagasi dan bukannya di dalam pesawat?

Kepala Masalah Keamanan Perbatasan di lembaga pemikir Australian Strategic Policy Institute, Dr John Coyne mengatakan tindakan yang dilakukan Inggris dan Amerika Serikat tersebut merupakan tindakan kompromi yang harus dilakukan. "Tantangan bagi kita semua adalah bagaimana mengurangi resiko. Kita menginginkan pemerintah mengambil satu tindakan, yang membuat kita lebih aman," katanya kepada ABC News24, baru-baru ini.

"Tantangan sebenarnya adalah ini hanya sikap kompromi. Bila ada bahan peledak itu meledak di dalam pesawat, yang tentu saja tidak kita inginkan terjadi, apakah lebih baik meledak di bagasi, atau di dalam pesawat?"

"Ini masalah memindahkan resiko dan menangani risiko yang ada."

"Lembaga Keselamatan Penerbangan Sipil Australia mengatakan menyimpan barang-barang elektronik di bagasi menimbulkan resiko kebakaran lebih besar. Ini adalah kompromi dari berbagai kemungkinan tersebut."

Dr Coyne mengatakan penumpang asal Australia tujuan Inggris atau Amerika Serikat,  kemungkinan harus menaruh peralatan elektronik mereka di bagasi sejak awal. "Ini dampak yang mungkin terjadi. Saya kira misalnya Qantas, yang memulai penerbangan dari Sydney atau Melbourne, mungkin harus memberitahu penumpang mereka bahwa peralatan elektronik mereka dari Sydney ke Dubai, namun bila melanjutkan penerbangan ke Inggris, mereka harus kemudian memindahkan laptop tersebut ke bagasi di sana."

Pada akhirnya menurut Dr Coyne, tindakan ini akan membuat penumpang lebih aman. "Ini adalah tindakan pencegahan, bahwa dengan itu kemungkinan bahan peledak meledak di dalam kabin pesawat akan lebih kecil. Saya kira ini adalah hal yang menguntungkan."

Australia belum menerapkan tindakan serupa

Australia sampai saat ini belum memutuskan untuk melakukan tindakan serupa seperti yang dilakukan Amerika Serikat dan Inggris. Namun Dr Coyne mengatakan bahwa posisi Australia ini mungkin akan berubah.

"Tindakan keamanan seperti itu selalu bersifat sementara, karena ada dugaan kemungkinan adanya ancaman, dan bisa berubah dengan cepat," kata Coyle.

"Saya kira lembaga seperti ASIO (Dinas Intelejen Australia) dan pemerintah Australia akan terus memantau perkembangan. Bila di masa depan kita melihat adanya ancaman khusus ditemukan, pasti ada perubahan kebijakan."

Diterjemahkan pukul 14:00 AEST 22/3/2017 oleh Sastra Wijaya dan simak beritanya dalam bahasa Inggris di sini

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement