Kamis 23 Mar 2017 21:45 WIB

Australia Tolak Masuk 500 Pengungsi Suriah dan Irak

Rep: Stephen Dziedzic/ Red:
abc news
abc news

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Pemerintah Federal Australia menolak masuk lebih dari 500 pengungsi Suriah dan Irak selama tahun 2016  lalu karena mereka tidak lulus dalam pemeriksaan keamanan. Menteri Imigrasi Australia, Peter Dutton, mengatakan, pemerintah menggunakan intelijen dari sekutu Australia di bidang keamanan, termasuk Amerika Serikat, untuk menilai aspek keamanan.

Beberapa pengungsi yang ditolak adalah bagian dari 12 ribu pengungsi Suriah yang berusaha dimukimkan kembali di Australia. Menteri Dutton mengatakan, jumlah penolakan itu ‘mengagetkan’ dan menyebut bahwa hal itu justru membenarkan keputusan pemerintah Koalisi untuk mengharuskan pengungsi Suriah menjalani pemeriksaan yang ketat.

“Partai Buruh menyarankan agar kami memasukkan para pengungsi ini dengan cepat dan jika kami melakukan itu maka kami tak akan mampu mendeteksi orang-orang ini dan saya pikir akan ada konsekuensi signifikan terhadap negara kita,” jelasnya.

“Saya rasa peristiwa tragis di London dan di manapun menunjukkan pendekatan Pemerintah (Australia) adalah bijaksana,” sebutnya.

“Mereka adalah orang-orang yang kami kecualikan dalam kaitan dengan keamanan nasional, yang tak kami izinkan masuk dan tak akan pernah,” ujar Menteri Dutton.

Ia mengatakan, pendekatan Pemerintah bisa memberi keyakinan pada warga Australia bahwa pengungsi yang diterima tak akan menebar ancaman. “Kami memasukkan orang-orang yang telah lolos pemeriksaan keamanan, dan mereka akan berkontribusi secara signifikan terhadap masyarakat Australia,” jelasnya.

Ia menambahkan, “Mereka akan menjadi warga Australia yang baik, mereka akan bekerja keras dan mereka mendidik anak-anak kita – mereka adalah imigran yang kita inginkan masuk ke negara kita.”

Menteri Dutton tak memberi informasi detil mengenai proses pemindaian, tapi mengatakan Pemerintah mengandalkan sumber intelijen dan agensi penegak hukum dari beberapa negara. “Amerika Serikat memiliki data intelijen signifikan terkait orang-orang yang keluar dari Timur Tengah. Ada banyak hal juga yang telah dilakukan bersama Inggris dan Kanada tapi ada sejumlah mitra lain pula yang bekerja sama dengan kami,” terangnya.

Ia mengutarakan, “ Kami telah begitu ketat, kami cukup metodis dalam melakukan pemeriksaan karena kami tak ingin orang yang menebar ancaman yang masuk ke negara kami. Kami ingin orang-orang yang lari dari kekerasan tanpa membawa kekerasan di sini.”

Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.

Diterbitkan: 18:20 WIB 23/03/2017 oleh Nurina Savitri.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement