Rabu 28 Jun 2017 09:46 WIB

Kisah Penemuan Rekaman Karya Seni Bali di 1928

Tari Legong klasik dari desa Bedulu.
Foto: ABC
Tari Legong klasik dari desa Bedulu.

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Dokumentasi yang berisi beberapa tradisi budaya Bali kuno berisiko terhapus dari ingatan modern hingga kini. Namun berkat penemuan beberapa rekaman dari era sebelum Perang Dunia II, muncul harapan baru.

Pada 1928, perwakilan dari dua perusahaan rekaman Jerman datang ke Bali untuk merekam gamelan dan musik vokal. Mereka memproduksi satu-satunya salinan fisik musik Bali yang diketahui sebelum Perang Dunia II.

Walau rekaman ini gagal dijual di Bali, tanpa sadar mereka mengabadikan sesuatu yang menarik antusiasme internasional. Melalui serangkaian acara - juga upaya ilmiah yang terpadu, produksi rekaman tahun 1928 yang asli, kini, "zaman keemasan" musik Bali menjadi perhatian lokal dan dunia.

Kisah bagaimana rekaman itu digali kembali di 1930-an bermula ketika komposer Colin McPhee mendengarnya di New York. Ia begitu terpikat, dan memutuskan mengesampingkan kariernya dan pergi ke Bali. McPhee tiba di Bali ketika periode revolusi artistik terjadi. Jatuhnya kerajaan Bali kuno akibat invasi militer Belanda pada 1906 dan 1908 telah menyebabkan seni Bali berpindah dari istana ke desa-desa setempat.

Dalam memoarnya, A House in Bali (Sebuah Rumah di Bali), McPhee menulis tentang mantra musik Bali yang kuat, dengan kelompok gamelan lokal bersaing untuk tampil lewat karya baru. Ia menceritakan bagaimana beberapa musisi akan bersembunyi dan diam-diam mendengarkan latihan kelompok lain sehingga mereka bisa membawa komposisi baru kembali ke desa sendiri.

Dan meski sebagian besar rekaman asli di Jerman telah hancur, McPhee menyimpan salinannya. Kini, ahli etnomusikologi AS, Edward Herbst, dan rekan-rekannya di proyek Bali 1928 telah mencari arsip, perpustakaan, universitas dan catatan pribadi di seluruh dunia untuk memulihkan rekaman itu sebanyak mungkin.

Para penari dan musisi dalam kelompok seniman ‘gamelan gambuh’ di desa Sesetan.
Para penari dan musisi dalam kelompok seniman ‘gamelan gambuh’ di desa Sesetan.

Supplied: Colin McPhee, UCLA Ethnomusicology Archive/Bali 1928

Proyek ‘Bali 1928’

Didorong keinginan untuk menampilkan kembali pengetahuan tentang seniman dan gaya Bali yang hilang, Herbst bekerja sama dengan ‘Arbiter of Cultural Traditions’ di New York memulihkan dan menerbitkan ulang rekaman tahun 1928 tersebut.

Mereka berhasil menghubungkan rekaman tersebut dengan film bisu tentang pemusik dan penari yang direkam oleh McPhee, seniman Meksiko Miguel Covarrubias dan pelopor tari Swedia Rolf de Maré pada tahun 1930an.

"Kami beruntung karena sebagian besar rekaman yang diperoleh McPhee berhasil masuk ke arsip UCLA dan properti McPhee di AS," kata Marlowe Bandem, koordinator ‘Proyek Bali 1928’ kepada ABC.

"Koleksinya adalah sebagian besar rekaman yang telah dipulangkan ke Bali oleh tim tersebut," imbuhnya.

Penari Bali, I Sampih, memainkan karakter ‘condong’ di tari Legong.
Penari Bali, I Sampih, memainkan karakter ‘condong’ di tari Legong.

Supplied: Colin McPhee, UCLA Ethnomusicology Archive/Bali 1928

Menginspirasi generasi berikutnya

Mendengarkan rekaman ini dan menyaksikan film-film yang dibuat ‘Proyek Bali 1928’, para pemusik dan penari tahun 1920-an seolah-olah tahu, entah bagaimana, bahwa mereka berkomunikasi dengan generasi masa depan. "Saya pikir itu aspek penting dari proyek ini. Yaitu melihat bagaimana komposer seperti Made Regog, Wayan Lotring dan lainnya menjadi kekuatan kreatif selama tahun 1930an," kata Bandem.

"Dan sekarang hal itu telah menjadi inspirasi bagi kreasi masa depan."

Melalui rekaman tersebut, beberapa musisi Bali belajar musik kakek dan nenek mereka untuk pertama kalinya. "Materi ini ada untuk menginspirasi orang Bali dan dunia," kata Bandem.

"Kami ingin orang Bali, terutama anak muda, mengerti bahwa ada kejayaan dalam pengembangan budaya kita, dan bahwa kita bisa belajar dari para maestro,” ujar Bandem.

"Bukan hanya tentang teknik menari, bagaimana mereka menulis lagu, tapi tentang kehebatan yang muncul dari sikap terbuka. Rangkul dunia, jangan takut ide baru. Kami menginginkan materi ini bisa mendorong kreasi baru yang sejajar dengan apa yang nenek moyang kita lakukan kurang dari 100 tahun lalu."

Musisi I Gde Manik dari desa Jagaraga di Kabupaten Buleleng, Bali.
Musisi I Gde Manik dari desa Jagaraga di Kabupaten Buleleng, Bali.

Supplied: Colin McPhee, UCLA Ethnomusicology Archive/Bali 1928

Berkontribusi untuk ‘Proyek Bali 1928’

Mulai tahun 2001, proyek pemulihan dan pemulangan ‘Bali 1928’ berfokus pada gamelan, puisi yang dilagukan dan musik drama tari yang direkam di Bali sebelum Perang Dunia II, bersamaan dengan film dan foto-foto sunyi yang terkait. Tapi belakangan ini, Bandem ingin memperluas proyek ini dengan bantuan dari siapa saja yang mungkin memiliki artefak budaya dari Bali pada awal abad yang lalu.

"Kami berharap orang lain akan membantu mengembangkan koleksi ini dengan memberi akses ke objek atau informasi apapun yang akan membantu menggali masa lalu demi masa depan yang kreatif," harapnya.

Apakah Anda memiliki artefak budaya Bali dari awal abad ke-20? Jika Anda memiliki sesuatu yang menurut Anda penting bagi komunitas Bali saat ini, hubungi ‘Proyek Bali 1928’ atau email ke [email protected].

Diterbitkan Rabu 21 Juni 2017 oleh Nurina Savitri. Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.

sumber : http://www.australiaplus.com/indonesian/wisata-nad-budaya/rekaman-karya-seni-bali-dari-era-sebelum-pd-ii-bangkitkan-gener/8636358
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement