Senin 24 Jul 2017 20:56 WIB

Imam Muda Australia Tangkal Islamofobia dari Warung Kopi

Rep: Claire Moodie/ Red:
abc news
abc news

Imam termuda Australia ini tak melihat adanya kebutuhan untuk mendirikan sekolah Muslim, dan ia lebih suka menjabat tangan seorang perempuan ketimbang menyebabkan ketersinggungan.

Ia bahkan senang ada kamera yang dipasang di masjidnya di Perth dan berjanji untuk mengundurkan diri jika ada jejak ekstremisme di lingkungan itu. Kamran Tahir berupaya keras meruntuhkan stereotip negatif yang menurutnya berkontribusi terhadap berkembangnya Islamofobia di Australia.

Pemuda berusia 26 tahun ini dikirim ke Australia Barat dari Sydney tiga bulan lalu oleh komunitas Ahmadiyah untuk mendirikan sebuah masjid baru di sebuah arena es yang tidak terpakai, di pinggiran selatan Perth, Australia Barat.

Masih ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan dan ada beberapa perlawanan dari masyarakat.

Tapi pemimpin Muslim ini begitu agresif.

"Saya mengundang orang-orang yang memiliki pertanyaan tentang Islam untuk mencari saya," katanya. "Dan saya akan menemuinya di warung kopi pilihan mereka. Kopinya saya traktir."

Kamran Tahir sembahyang di masjid Perth-nya.
Kamran Tahir sembahyang di masjid Perth-nya.

ABC News: Greg Pollock

Ada lebih banyak Islamofobia

Inisiatif #CoffeenIslam, yang mengundang anggota masyarakat untuk bertatap muka di kedai kopi satu per satu, yang dilakukan Tahir, kini merupakan bagian dari kampanye nasional yang diluncurkan minggu ini oleh kelompok ‘Muslim Down Under’ (Muslim Australia).

Tahir juga merupakan sosok di belakang kampanye “I'm a Muslim, Ask Me Anything” (Saya Seorang Muslim, Tanyai Saya Apapun) di mana relawan turun ke jalan untuk menjawab pertanyaan tentang keyakinan mereka.

Kampanye itu dimulai di Perth setelah serangan teroris bulan Mei di Manchester. "Itu, bisa disebut, sebuah pencerahan bagi saya bahwa kami perlu pergi keluar dan kami perlu melakukan ini karena hari demi hari, kami melihat ada lebih banyak Islamofobia," tutur Tahir.

"Jika saya tak berbuat apapun tentang hal itu, sebagai seorang Imam, sebagai pemimpin sebuah komunitas di Australia Barat, bagaimana saya bisa mengharapkan orang lain untuk berbuat sesuatu tentang hal itu?.”

"Ada orang-orang yang mengaku Muslim yang melakukan serangan mengerikan dan keji ini tapi saya bisa menjamin Anda, mereka mungkin tak pernah membuka Al-Quran."

Kamran Tahir berbicara dengan seorang warga.
Kamran Tahir berbicara dengan seorang warga.

ABC News: Claire Moodie

Mengapa harus ada sekolah Islam?

Keluarganya Tahir berasal dari Pakistan tapi ia sendiri lahir dan dibesarkan di kota Leicester, Inggris. Ia baru tiba di Australia 18 bulan lalu dan mengatakan akan mengirim anak-anaknya ke sebuah sekolah negeri.

"Mengapa butuh sekolah Muslim?" tanyanya. "Saya pribadi tak melihat kebutuhan untuk itu.”

"Saya telah belajar di sekolah normal yang sekuler. Saya ternyata baik-baik saja. Saya sekarang seorang Imam,” ujar Tahir.

"Tapi pantau mereka jika Anda memiliki kekhawatiran tentang apa yang diajarkan di sana."

Usahanya untuk mengubah citra terhadap Islam muncul setelah penelitian menunjukkan bahwa para perempuan menjadi pihak yang sering mengalami serangan Islamofobia di Australia.

Tahir mengatakan, ancaman terhadap perempuan Muslim adalah salah satu alasan mengapa tak ada yang hadir dalam acara terbaru dari kampanye ‘I'm a Muslim, Ask Me Anything’ di kota Bunbury, akhir pekan lalu.

"Ada beberapa perempuan di tim kami tapi ketika kami pergi ke daerah baru, kami harus sedikit lebih protektif. Minta pengawal, ya seperti itu, karena kami tak tahu apa tanggapannya."

Salah satu anggota masjid baru Imam Kamran Tahir di Bibra Lake, pinggiran selatan Perth.
Salah satu anggota masjid baru Imam Kamran Tahir di Bibra Lake, pinggiran selatan Perth.

ABC News: Claire Moodie

Penghormatan harus dari dua arah

Di acara Bunbury itu, ternyata responnya positif. Hanya ada satu diskusi sengit tentang kebutuhan umat Islam untuk berasimilasi. "Mayoritas dari apa yang mereka ketahui, mereka sudah baca secara daring atau mereka pernah melihatnya di berita," kata Tahir.

"Kami mencoba untuk menghilangkan kesalahpahaman yang mungkin dimiliki beberapa orang."

Tapi ia berpendapat bahwa mengatasi Islamofobia bergantung pada rasa saling menghormati. Dan ia mengkritik aktivis Yassmin Abdel-Magied atas unggahan statusnya di Facebook pada Hari Anzac dan reaksi yang ia tunjukkan.

"Saya sendiri ambil bagian dalam upacara Hari Anzac," aku Tahir.

"I think respect is something which goes both ways."

"Pahlawan-pahlawan ini telah menyerahkan hidup mereka untuk kita, berjuang untuk negara tercinta ini. Dan saya pikir seharusnya tak ada yang mengambilnya dari mereka. Tapi perlawanan yang telah ditunjukkan kepadanya (Yassmin), saya pikir juga agak keras.”

Ia menambahkan, "Saya rasa, penghormatan adalah sesuatu yang berjalan dua arah."

Diterbitkan Senin 24 Juli 2017. Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement