Selasa 26 Sep 2017 10:41 WIB

Pengungsi Rohingya Temukan Keluarga Baru di Adelaide

Rep: Simon Royal/ Red:
abc news
abc news

Beberapa minggu lalu, Akram Maungkyawmin dan ibu angkatnya, Sarah Ayles, sedang duduk di meja makan di sebuah rumah di Adelaide. Telepon Akram berbunyi dengan teks dari saudara laki-lakinya di Myanmar.

"Ia mengirimiku foto tentang desa kami yang terbakar," tutur Akram. "Warga telah kehilangan semua yang mereka miliki, beberapa telah kehilangan nyawa mereka. Rumah kami telah terbakar habis."

Ada foto lain juga, yakni tentang reruntuhan yang membara dan orang-orang yang melarikan diri melalui hutan. Bagi Sarah, ini informasi mengejutkan tentang nasib minoritas Rohingya di Myanmar.

"Akram bilang 'lihat ini Sarah, ini rumah saya'," tutur ibu angkat Akram ini. "Rumah itu terbakar dan desanya terbakar dan saya hanya duduk diam bersamanya ... apa yang bisa Anda katakan?."

Rohingya adalah minoritas etnis dan agama yang hidup terutama di negara bagian Rakhine di barat Myanmar. Mereka telah dianiaya oleh pihak berwenang dan mengalami kampanye kekerasan sporadis selama beberapa dekade.

"Pemerintah dan mayoritas umat Buddha, mereka tidak menyukai kami," kata Akram. "Ini masalah agama dan politik yang bercampur. Mereka tidak ingin orang Rohingya tinggal di Burma.”

"Mereka menyebut kami orang Bengali dan mengatakan bahwa kami bermigrasi dari Bangladesh, tapi itu tidak benar. Kami telah tinggal di Burma selama beberapa generasi."

 

Akram Maungkyawmin
Akram Maungkyawmin kini belajar di Christian Brothers College di Adelaide dan berharap untuk bisa tinggal dan bekerja di Australia.

ABC News: Michael Ewers

Dengan pecahnya kekerasan terhadap Rohingya, PBB menuduh pemerintah Myanmar melakukan pembersihan etnis. Sementara Akram menyebutnya genosida.

Suu Kyi dinilai bertanggung jawab atas konflik

Meskipun ada beberapa argumen mengenai seberapa besar kekuasaan yang dipegang pemimpin negara, yakni pemenang hadiah perdamaian Nobel -Aung Sun Suu Kyi, Akram mengatakan bahwa Suu Kyi bertanggung jawab.

"Dia adalah orang yang paling dihormati di dunia sebelum kejadian ini," sebutnya. "Ia berjanji pada semua orang bahwa ia akan menciptakan perdamaian di Burma di antara kelompok-kelompok etnis, tapi ketika ia sudah mendapat kekuasaan, ia mengubah pikirannya menjadi sesuatu yang lain ... jadi ya, saya memintanya untuk bertanggung jawab.”

"Ia bahkan tidak menggunakan nama orang Rohingya, ia hanya menggunakan sebutan Muslim atau Islam."

 

Akram Maungkyawmin bermain trampolin dengan anak-anak Sarah, Jacob dan Holly.
Akram Maungkyawmin bermain trampolin dengan anak-anak Sarah, Jacob dan Holly.

ABC News: Simon Royal

Meski situasi di Myanmar begitu kompleks, hal itu menjadi alasan sederhana mengapa Akram melarikan diri dari negaranya. "Ayah saya meninggal tahun 2008 akibat penyakit jantung dan kemudian ibu saya meninggal akibat penyakit yang sama di tahun 2012.”

"Ketika pihak berwenang menahan saudara laki-laki saya beberapa bulan kemudian, saudara saya yang lain mengambil sedikit uang yang ditinggalkan ibu saya dan mengirim saya ke Australia.”

"Mereka juga tidak ingin saya ditangkap juga."

Akram berusia 13 tahun saat itu. Perjalanannya, baik dengan pesawat terbang maupun kapal yang dijalankan oleh para penyelundup manusia, membawanya bertualang setahun, melalui Bangladesh, Malaysia dan kemudian Indonesia.

Kapal penyelundup lain kemudian membawanya ke Pulau Christmas, di mana ia menghabiskan 12 bulan dalam tahanan imigrasi.

Tak pernah bersekolah sebelumnya

Akram yang kini berusia 18 tahun masuk ke daratan Australia dengan visa sementara dan bersekolah kelas 12 di Christian Brothers College (CBC).

"Saya belum pernah bersekolah di negara saya. Pemerintah tidak memberi saya kesempatan untuk bersekolah," akunya. "Jadi berada di sini di CBC, ini sangat berarti bagi saya."

Akram Maungkyawmin bersama konselor sekolah Christian Brothers College, Jane Gaynor.
Akram Maungkyawmin bersama konselor sekolah Christian Brothers College, Jane Gaynor.

ABC News: Simon Royal

Tapi kepala sekolah CBC, Noel Mifsud, mengatakan bahwa pendidikan yang akhirnya diterima pemuda ini jauh dari bentuk satu arah. "Akram datang ke sini untuk dididik dan dengan berbagi cerita tentang latar belakangnya di Myanmar, ia justru mendidik kami," kata Mifsud.

"Saya pikir ia mengajarkan kami tentang keadilan sosial dan ia meminta kami untuk mempertanyakan secara mendalam apa yang kami lakukan terhadap mereka yang membutuhkan pertolongan dalam masyarakat kita, dan konteks global yang lebih luas."

Konselor sekolah, Jane Gaynor, diingatkan akan pepatah lama, “Jantung pendidikan adalah pendidikan hati." Ia mengatakan bahwa Akram memiliki hati yang baik dan tegar.

"Tentu saja ia kadang-kadang sedih dan ia akan membicarakannya dengan tenang," ujar Gaynor. "Tapi pengalaman semua orang di komunitas sekolah kami adalah bahwa ia anak muda yang sangat bahagia. Ia adalah contoh bagi kami semua tentang kemampuan seseorang untuk bisa menahan begitu banyak hal."

Rencanakan masa depan di Australia

Sarah Ayles mengatakan bahwa keluarganya juga belajar beberapa hal. "Saya mau mengulurkan tangan saya untuk menampungnya karena saya ingin membantu seseorang, saya ingin memberi hidup saya makna," tutur Sarah.

"Saya memiliki anak kecil dan saya ingin mereka melihat sisi Australia yang berbeda. Kami sering mengalami pasang surut dan tawa dan kesalahan komunikasi dan Tuhan tahu apa pendapatnya tentang kami, tapi ya, ia adalah bagian dari diri kami sekarang ini."

Jika ia diijinkan tinggal di Australia, Akram mengatakan ia ingin menjadi warga negara Australia. Bagi seseorang yang menyaksikan minimnya hukum dan ketertiban, ia ingin memiliki karir yang didedikasikan untuk bidang itu.

"Saya ingin menjadi polisi di masa depan," katanya. "Saya ingin balas budi ke Australia karena negara ini telah banyak memberi saya."

Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement