Jumat 24 Nov 2017 08:59 WIB

Alfira O'Sullivan dan Syamsiah Masuk Buku Putih Australia

Alfira O'Sullivan (kiri) dan Syamsiah masuk dalam Kertas Putih Kebijakan LN Australia 2017.
Foto: Istimewa
Alfira O'Sullivan (kiri) dan Syamsiah masuk dalam Kertas Putih Kebijakan LN Australia 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia, Kamis (23/11) menerbitkan Buku Putih yang membeberkan kebijakan luar negeri yang akan dilakukan Australia selama 10 tahun ke depan.

Dalam kertas putih ini dua warga yang memiliki hubungan dengan Indonesia, Alfira O'Sullivan yang tinggal di Sydney dan Syamsiah yang tinggal di Sulawesi Selatan ditampilkan sebagai mereka yang menjadi contoh bagi kebijakan yang dijalankan.

Dalam bagian bernama Aksi kebijakan luar negeri, Alfira masuk dalam kategori mereka yang melakukan promosi bagi Australia, sementara Syamsiah menjadi contoh mereka yang terlibat dalam kepemimpinan masyarakat dalam kategori membantu orang lain (helping others).

Alfitra O'Sullivan (kanan) dan suaminya Murtala pendiri Suara Indonesia Dance
Alfitra O'Sullivan (kanan) dan suaminya Murtala pendiri Suara Indonesia Dance

Foto: DFAT

Yang uniknya adalah Alfira O'Sullivan dan suaminya Murtala yang mengelola sanggar seni Suara Indonesia sebenarnya banyak berkecimpung mempromosikan tarian asal Indonesia namun dijadikan contoh mengenai wajah multibudaya di Australia.

Alfira lahir di Perth dan dibesarkan di Sydney dari ayah campuran Irlandia-Australia dan ibu asal Indonesia. Awalnya ibunya memiliki program radio lokal bernama Suara Indonesia, dan dari situ, Alfira banyak berinteraksi dengan anak-anak muda asal Indonesia.

"Saya berteman dengan mereka, kami suka menari dan dari situ, kami membentuk kelompok tari yang melibatkan komunitas." kata Alfira seperti dikutip dalam Kertas Putih.

Setelah tamat SMA, Alfira melanjutkan kuliah di jurusan hubungan internasioal di University of New South Wales dan menghabiskan setahun belajar tari tradisional di Yogyakarta. Dia kemudian mendapatkan beasiswa dari pemerintah Indonesia untuk studi lanjutan, yang membawanya mengunjungi Aceh, tanah asal kakek dari pihak ibunya, untuk belajar mengenai tarian Aceh dan juga asal usulnya sendiri.

Di Banda Aceh, Alfira bertemu Murtala, yang kemudian menjadi suaminya. Murtala ketika itu terlibat dalam sebuah LSM lokal mengajarkan tarian sebagai bagian dari penyembuhan trauma karena ketika itu di tahun 2006 Aceh masih merasakan dampak dari tsunami besar yang melanda kawasan tersebut di 2004.

Kembali ke Australia di tahun 2008 Afira melanjutkan kegiatannya menggunakan tarian sebagai alat untuk mempersatukan komunitas dengan membentuk kelompok tari bernama Suara Indonesia Dance. Suara Indonesia menampilkan tari tradisional Indonesia yang digabungkan dengan tarian modern, dengan fokus pada tari Aceh, dan tari Randai dari Sumatera Barat.

Mereka kemudian mengadakan pelatihan tari dan penampilan di berbagai festival di Australia. "Kami adalah kelompok yang unik karena kami adalah bagian dari warga yang dibesarkan di Australia namun memiliki latar belakang Indonesia." kata Alfira.

Suara Indonesia mengadakan workshop tari di Ceko di tahun 2017
Suara Indonesia mengadakan workshop tari di Ceko di tahun 2017

Foto: Istimewa

Suara Indonesia juga melakukan perjalanan ke manca negara, dan di tahun 2017 melakukan perjalanan ke Eropa dan juga melatih tari kepada anak-anak Palestina di kamp pengungsi. Bepergian ke luar negeri, Alfira mengatakan kehidupan multibudaya yang sudah menjadi kehidupan sehari-hari di Australia namun belum cukup banyak diketahui orang di seluruh dunia.

"Ketika kami datang, mereka mengira saya orang Australia, namun saya mengajar tari Aceh dan mereka terkejut," katanya lagi.

Alfira melihat dirinya sendiri sebagai duta bagi Australia yang multikultur. "Ini tidak sekedar mengenai warga kulit putih Australia atau mereka yang berlatar belakang Eropa. Australia adalah bagian dari Asia dan melihat kenyataan Indonesia adalah salah satu tetangga terdekat Australia, maka penting sekali bagi Australia bertindak menggunakan kesempatan membangun hubungan kita," katanya.

"Australia yang multikultur penting sekali diperlihatkan di luar negeri . Ini adalah bagian dari merayakan keberadaan Australia."

Syamsiah aktivis perempuan di Sulawesi Selatan

Syamsiah tinggal di Sulawesi Selatan
Syamsiah tinggal di Sulawesi Selatan

Foto: Istimewa

Yang juga ditampilkan dalam Buku Putih DFAT 2017 ini adalah Syamsiah asal Sulawesi Selatan yang sekarang menjadi pegiat perempuan. Pada awalnya, Syamsiah adalah seorang ibu rumah tangga biasa yang dalam kegiatan sehari-hari selain memasak di rumah, berjualan kue untuk menambah penghasilan.

"Di masa lalu, tidak ada orang yang mengenal saya. Saya hanya Syamsiah dari Kaili, dan saya membuat kue." katanya.

Semua itu berubah di tahun 2014 ketika Syamsiah bergabung dengan organisasi binaan NU, Aisyiyah. Organniasi ini mendapat dukungan dari pemerintah Australia dan Indonesia lewat proyek kerjasama bernama MAMPU (Maju Perempuan Indonesia Untuk Penangguilangan Kemiskinan).

Program ini mendorong pemberdayaan perempuan yang didukung oleh pemerintah Australia yang sekarang sudah dijalankan di sekitar 1000 desa di Indonesia. "Program MAMPU memberikan pengetahuan, keberanian dan semuanya bagi saya."

‘Saya sudah lama menunggu untuk menyumbangkan hidup saya melayani komunitas." kata Syamsiah.

"Dan kemudian program MAMPU dimuilai dan lewat ini saya bisa melakukannya."

Syamsiah bersama rekan-rekannya di Balai Sakinah Aisiyah Cakalang
Syamsiah bersama rekan-rekannya di Balai Sakinah Aisiyah Cakalang

Foto: Istimewa

Syamsiah sekarang menjadi Ketua Balai Sakinah Aisyiyah di Kabupaten Bantaeng di Sulawesi Selatan. Balai Sakinah ini menjadi ajang bagi para perempuan di desa untuk bertemu dan berbagi pengetahuan mengenai masalah kesehatan, pendidikan dan yang lainnya.

Karena pengalaman ikut dalam kegiatan ini menurut Syamsiah telah mengubah hidupnya.

"Saya pada mulanya pemalu. Saya tidak berani memegang mikrofon, dan tidak berani berbicara di depan publik. Namun dalam pelatihan pertama, itu yang saya dapatkan." katanya.

Sekarang Syamsiah menjadi pemandu dan mengajar perempuan lain mengenai keluarga berencana, BPJS, kekerasan dalam rumah tangga dan masalah lain seperti perlunya pemeriksaan dini mengenai bahaya kanker.

Dia juga sering mewakili kelompoknya untuk ikut dalam pertemuan dengan para pejabat pemerintah dan mengatakan keterlibatannya dengan MAMPU telah banyak mengubah dirinya. "Bagi saya seluruh pengalaman ini yang dulunya tidak ada, nol, sekarang saya sudah berubah 180 derajat. Sekarang karena saya aktif, saya banyak dikenal karena kegiatan saya di masyarakat," katanya.

 

sumber : http://www.australiaplus.com/indonesian/sosok/alfitra-dan-syamsiah-masuk-kertas-putih-australia/9185702
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement