Kamis 22 Mar 2018 14:22 WIB

Warga Uighur di Australia Kecam Tindakan Kejam Penguasa Cina

Pemimpin minoritas Uighur Cina akan mengunjungi Australia akhir Maret ini.

Etnis minoritas Muslim Uighur menuduh Pemerintah China mengekang mereka.
Foto: ABC News/Lily Mayers
Etnis minoritas Muslim Uighur menuduh Pemerintah China mengekang mereka.

REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Perempuan dari komunitas Uighur di Australia pekan lalu melakukan aksi demonstrasi terhadap dugaan diskriminasi yang dilakukan Pemerintah Cina terhadap etnis minoritas Muslim tersebut. Aksi ini dilakukan menjelang kunjungan pemimpin Uighur di pengasingan, Rebiya Kadeer, ke Australia yang dijadwalkan akhir Maret ini.

Warga Uighur, yang umumnya mendiami Xinjiang di Cina barat laut, meminta Australia mengambil tindakan atas laporan bahwa Pemerintah Cina telah mengirim warga ke 'kamp-kamp pendidikan' kembali.

Aksi demo yang dipimpin kaum perempuan berlangsung di Sydney Town Hall dan Adelaide's Victoria Square, bersamaan serentak dengan aksi lainnya di berbagai negara. Ketua Asosiasi Uighur Australia Mamtimin Ala mengatakan komunitas mereka biasanya takut berbicara karena khawatir dengan tindakan Pemerintah Cina terhadap keluarga mereka di sana.

Uyghur woman at Sydney protest against Chinese detention
Aksi demo warga Uighur di Sydney dan Adelaide dipimpin kaum wanita. (Sumber: ABC News/Lily Mayers)

Pendidikan kembali

Menurut laporan terbaru media Radio Free Asia yang didukung AS, diperkirakan 120 ribu warga Uighur saat ini berada di 'kamp-kamp pendidikan' kembali tanpa bantuan hukum. Mereka ditangkap karena keyakinan agama dan politik mereka.

Namun tahun lalu Pemerintah Cina membantah melakukan pelanggaran terhadap warga Uighur, dan berdalih hak-hak hukum, budaya dan agama warga tersebut sepenuhnya dilindungi. Cina menyatakan pihaknya menindak kaum Islamis dan separatis di wilayah itu, namun LSM Amnesty International dalam laporan HAM 2017-18 menyebut bahwa penindasan yang dilakukan atas nama 'anti-separatisme' atau 'kontra-terorisme' berlangsung 'sangat keras'.

"Australia menjalin hubungan rumit dengan Cina secara diplomatis, politik, ekonomi. Pada saat yang sama ada nilai-nilai universal yang harus dipatuhi (Cina) jika mereka ingin jadi bagian masyarakat internasional," ujar Mamtimin Ala kepada ABC.

Uyghur woman at Sydney protest against Chinese detention.
Warga Uighur di Australia mengaku keluarga mereka di Xinjiang akan berada dalam bahaya jika dihubungi. (Sumber: ABC News/Lily Mayers)

"Mereka menarget warga Uighur yang mempertahankan keyakinan agama mereka, agama Islam. Sebagian dari mereka pergi ke negara lain, sebagian besar negara-negara Muslim di Timur Tengah," jelas Ala.

"Mereka (Pemerintah Cina) memasukkan orang ke pusat (pendidikan kembali) di luar kehendak warga tanpa proses hukum yang jelas. Siapa pun yang diidentifikasi oleh Cina memiliki masalah dengan pandangan politik atau agama, dan pandangan nasionalistik, telah terkena penempatan di pusat-pusat tersebut," paparnya.

Laporan Amnesty International menyoroti bahwa Pemerintah Cina secara sewenang-wenang menahan warga Uighur untuk periode yang tak ditentukan dan dipaksa mempelajari hukum dan kebijakan Cina. Laporan ini juga menyatakan bahwa Cina menyebut kamp-kamp tersebut sebagai 'pusat kontra-ekstremisme', 'pusat studi politik', atau 'pusat pendidikan dan transformasi'.

Pemimpin Uighur yang diasingkan, Rebiya Kadeer, diperkirakan mengunjungi Australia akhir bulan ini. Asosiasi Uighur Australia mengatakan dia akan meminta pertemuan dengan politisi Australia saat berada di negara ini.

Rebiya Kadeer, seorang ibu sebelas anak, kini berada di Amerika Serikat. Radio Free Asia melaporkan bahwa dia memiliki banyak kerabat, termasuk anak-anaknya sendiri, dalam penjara di Cina.

Rebiya Kadeer, campaigner for the rights of the Uighur people
Pemimpin Uighur di pengasingan, Rebiya Kadeer, dijadwalkan mengunjungi Australia akhir Maret 2018. (Sumber: Reuters/Jason Reed)

"Mengerikan, tidak ada kebebasan bergerak, mereka dicabut hak-hak hukumnya dan dicabut hak mengajukan permohonan ke pengadilan," kata Ala.

"Mereka tak memiliki kekuatan hukum untuk membela diri dan sedang mengalami pencucian otak bermotif politik  (dikenal sebagai) xi nao," katanya.

Membahayakan keluarga

Menurut Ala, yang datang ke Australia dari Xinjiang sebagai pengungsi pada 2008, dia tidak pernah menghubungi keluarganya di sana selama lima tahun terakhir. "Mereka melakukan tekanan psikologis dan ekonomi pada keluargaku, menekan saya untuk bungkam. Petugas keamanan mendatangi mereka," katanya.

"Ibuku tak mengakui saya sebagai putranya. Dia bilang tidak memiliki anak seperti saya. Jadi tidak ada hubungan antara saya dan ibuku," paparnya.

"Kisah ini mewakili ribuan orang Uighur di seluruh dunia," tambah Ala.

"Jika Pemerintah Australia menutup mata terhadap warga Uighur, Cina akan melakukan tekanan lebih besar tidak hanya pada orang Uighur tetapi orang Tibet. Tak ada penghargaan terhadap HAM. Mereka juga akan melakukan tekanan bagi warga Australia yang ke sana," ujarnya.

Seorang warga Uighur dalam aksi demo di Sydney, yang meminta namanya tak disebutkan, mengatakan tidak dapat menghubungi keluarganya karena adanya konsekuensi dari pihak berwenang Cina. "Saya tidak bisa menghubungi saudara perempuanku. Pemerintah Cina mendengarkan setiap telepon dari luar negeri," katanya.

"Tetapi ketika pembicaraan usai, seseorang dari pemerintah datang ke rumah mereka, bertanya 'Mengapa adikmu, saudaramu, meneleponmu? Apa yang kamu katakan kepada mereka?'" katanya.

"Mereka membuat mereka ketakutan. Mereka menciptakan situasi yang menakutkan," tambahnya.

"Kami tidak bisa menghubungi keluarga kami di Cina. Kami merindukan mereka. Bahkan suami dan istri tak dapat saling menelepon. Bahkan ayah tidak dapat menelepon putrinya," ujar dia.

"Sangat mengerikan, seperti penjara terbuka," tambahnya.

sumber : http://www.australiaplus.com/indonesian/berita/pemimpin-minoritas-uighur-china-akan-kunjungi-australia/9575730
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement