Sabtu 17 Feb 2018 13:53 WIB

Perdana Menteri Mundur, Ethiopia Darurat

Pengunduran diri itu akibat ketegangan di antara keempat partai koalisi.

Rep: Marniati/ Red: Ani Nursalikah
Perdana Menteri Ethiopia Hailemariam Desalegn saat konferensi pers pengunduran dirinya di Addis Ababa, Kamis (15/2).
Foto: AP Photo
Perdana Menteri Ethiopia Hailemariam Desalegn saat konferensi pers pengunduran dirinya di Addis Ababa, Kamis (15/2).

REPUBLIKA.CO.ID, ADDIS ABABA -- Ethiopia mengumumkan keadaan darurat pada Jumat (16/2) atau sehari setelah pengunduran diri Perdana Menteri Hailemariam Desalegn.

Badan Pelaksana Etika pemerintah Ethiopia mengatakan koalisi yang berkuasa memutuskan peraturan darurat penting untuk menjaga tatanan konstitusional. Pengumuman tersebut tidak memberikan perincian lebih lanjut.

Ethiopia sepenuhnya mencabut keadaan darurat terakhirnya pada Agustus lalu setelah berbulan-bulan memberlakukan jam malam, pembatasan pergerakan dan penahanan 29 ribu orang. Langkah tersebut mengikuti dua tahun demonstrasi antipemerintah di mana pasukan keamanan membunuh ratusan orang di Amhara dan Oromiya, dua provinsi terpadat di negara ini.

Pengumuman keadaan darurat terbaru ini mengindikasikan pengunduran diri Perdana Menteri Desalegn adalah akibat ketegangan di antara keempat partai dalam koalisi yang berkuasa. Koalisi tersebut telah berkuasa sejak 1991 dan menguasai 547 kursi di parlemen. Tapi ketegangan telah muncul sejak pecahnya kerusuhan, dengan beberapa pejabat senior mengundurkan diri dan yang lainnya dikesampingkan.

Dua kelompok etnis terbesar di negara Tanduk Afrika, Oromo dan Amharik, mengeluh mereka kurang terwakili di koridor kekuasaan negara tersebut. Wakil Sekretaris Kongres Federal Oromo yang oposisi, Mulatu Gemechu mengatakan Ethiopia membutuhkan sistem politik yang baru. Kongres Federalist Oromo adalah satu dari tujuh partai yang membentuk koalisi oposisi terbesar.

"Rakyat Ethiopia sekarang membutuhkan pemerintah yang menghormati hak mereka, bukan orang yang terus memukul dan membunuh mereka," katanya kepada Reuters.

Pandangan Mulatu bergema di daerah Oromo yang mengelilingi ibu kota Addis Ababa. Di sanalah demonstrasi menentang rencana pembangunan perkotaan pada 2015 memicu demonstrasi yang lebih besar yang menuntut lebih banyak kebebasan dan hak-hak sipil.

"Warga Oromo seharusnya tidak dipenjara karena menjalankan hak mereka," kata seorang mahasiswa di Ambo, Dinkissa.

Ia mengatakan warga Oromo selalu dianiaya, pengunduran diri perdana menteri tidak akan berarti apa-apa kecuali hak warga dihormati. "Siapa pun yang berkuasa harus tahu itu, jika tidak, kami tidak akan berhenti memprotes," tambahnya

Para pendukung Hak Asasi Manusia sering mengkritik pemerintah Ethiopia atas penangkapan massal dan hukuman penjara panjang yang diajukan kepada lawan politik dan wartawan.

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement