Rabu 14 Mar 2018 12:08 WIB

Gedung Putih Adakan KTT untuk Bahas Gaza

Wakil Palestina menolak untuk hadir dalam konferensi yang berlangsung di Washington.

Rep: Marniati/ Red: Nidia Zuraya
Warga Gaza terus saja berkawan penderitaan.
Foto: ap
Warga Gaza terus saja berkawan penderitaan.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Gedung Putih bersiap untuk mengadakan konferensi yang bertujuan untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan di Gaza. Warga Palestina di Gaza mengatakan KTT tersebut adalah upaya untuk menghilangkan permasalahan Palestina dan mengubahnya menjadi proyek bantuan.

Dilansir Aljazirah, Rabu (14/3), perwakilan Palestina, menolak untuk hadir dalam konferensi yang berlangsung di Washington, DC. Namun, perwakilan dari sekitar 20 negara, termasuk Israel dan beberapa negara Arab terdaftar sebagai peserta KTT. Mereka akan membahas kesehatan warga Gaza, air dan listrik yang terkontaminasi , serta kemiskinan dan ketahanan pangan.

AS diperkirakan akan mengungkap beberapa proposal untuk menangani masalah yang dihadapi warga Gaza. Menantu Presiden AS Donald Trump Jared Kushner dan utusan Timur Tengah Jason Greenblatt akan berbicara di KTT tersebut.

Dalam sambutan pembukaannya, Greenblatt menyalahkan Hamas, kelompok Palestina yang memerintah Gaza. Ia mengatakan Hamas tidak layak untuk memerintah wilayah tersebut.

"Ini tentang kesehatan, keselamatan dan kebahagiaan rakyat Gaza, dan semua orang Palestina, Israel dan Mesir," katanya.

Penduduk Gaza terus menghadapi situasi putus asa karena blokade Israel. Mereka kekurangan air dan listrik, serta obat-obatan. Akibatnya dokter tidak dapat melakukan operasi.

Blokade Israel di Gaza telah terjadi sejak Juni 2007. Israel memberlakukan blokade darat, laut dan udara di wilayah tersebut setelah Hamas memenangkan pemilihan di daerah kantong setahun sebelumnya.

Israel menguasai wilayah udara dan perairan teritorial Gaza, serta dua dari tiga titik perbatasan; yang ketiga dikendalikan oleh Mesir. Baik Israel maupun Mesir telah menutup perbatasan mereka. Kedua negara tersebut bertanggung jawab atas memburuknya situasi ekonomi dan kemanusiaan di Gaza.

Gaza, telah mengalami tiga serangan Israel dalam dekade terakhir. Daerah kantong ini merupakan rumah bagi sekitar dua juta orang. Banyak di antaranya berpartisipasi dalam demonstrasi menentang keputusan Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.

Keputusan Trump ini membuat Otoritas Palestina menolak AS sebagai mediator dalam upaya perdamaian Palestina dan Israel. Warga Palestina di Gaza percaya KTT ini diadakan untuk melindungi Israel dari perang lain dengan Gaza.

"Ini akan menghalangi rencana Trump," ujar Abdulkareem Abden Enein (29).

Ia berharap hasil konferensi tersebut memiliki dampak positif bagi rakyat Gaza. "Meskipun ini mungkin merupakan hal yang positif bagi warga Gaza, saya pikir ini mungkin akan menyakitkan pemerintah persatuan dan kesepakatan rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas," ujarnya.

Hamas dan Fatah, dua partai politik utama Palestina, menandatangani sebuah kesepakatan rekonsiliasi pada Oktober 2017. Ini mengakhiri satu dekade pembagian yang melibatkan dua pemerintah paralel yang beroperasi di Gaza dan Tepi Barat.

Kesepakatan untuk membentuk pemerintah persatuan ditandatangani di ibukota Mesir Kairo pada 13 Oktober. Namun upaya untuk mengimplementasikan kesepakatan tersebut belum terealisasi.

"Saya pikir tidak satupun pejabat Palestina harus menghadiri acara yang diprakarsai oleh AS sampai pemerintah Trump mencabut kebijakannya terhadap orang-orang Palestina," tambahnya.

Warga Gaza lainnya, Ibtihal Mohammed (23) mengatakan AS hanya berusaha mencari perhatian di mata masyarakat internasional. Khususnya terkait seruan untuk perdamaian dan stabilitas di wilayah tersebut.

"Saya pikir hasil konferensi akan minimal - mungkin beberapa bantuan akan disampaikan tapi itu tidak akan bertahan, terutama jika kondisi tertentu tidak terpenuhi," katanya.

Pada Januari, Trump mengumumkan bahwa pemerintah AS akan memotong bantuan kepada badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA). AS menahan 65 juta dolar AS dari paket bantuan senilai 125 juta dolar AS untuk badan tersebut.

Selama hampir 70 tahun, UNRWA telah menjadi penyelamat bagi lebih dari lima juta pengungsi Palestina. Baik yang terdaftar di wilayah pendudukan maupun di Lebanon, Yordania dan Suriah.

Dan bagi penduduk Gaza, dukungan UNRWA adalah satu-satunya bantuan yang terus ada. Dengan demikian, beberapa warga Gaza melihat keanehan dalam upaya terbaru yang diajukan AS untuk mengakhiri krisis kemanusiaan di Gaza.

Penulis yang berbasis di Gaza Asmaa al-Ghoul mengatakan AS tidak melakukan apapun di masa lalu selain menempatkan Hamas pada daftar teror global. Ini justru semakin mempersulit akses di Gaza.

Al-Ghoul juga menyalahkan Fatah dan Hamas atas kondisi yang memburuk di Gaza. "Fatah tidak melakukan apapun untuk menghentikan blokade dan sebaliknya. Dan Hamas gagal dalam beberapa upaya untuk mendamaikan dan menemukan solusi politik untuk mengakhiri pengepungan di Gaza. Kami tidak punya harapan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement