Jumat 16 Mar 2018 19:39 WIB

AS Kembali Jatuhkan Sanksi untuk Rusia

Sanksi tersebut terkait serangan siber dan campur tangan Rusia dalam Pilpres AS

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nidia Zuraya
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden AS Donald Trump saat KTT G20 di Hamburg, 7 Juli 2017.
Foto: AP Photo/Evan Vucci
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden AS Donald Trump saat KTT G20 di Hamburg, 7 Juli 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) kembali menjatuhkan sanksi terhadap individu dan entitas Rusia, pada Kamis (15/3). Sanksi ini diberikan terkait tuduhan serangan siber dan campur tangan Rusia dalam pemilu presiden AS pada 2016.

Sanksi tersebut belum menargetkan oligarki dan pejabat pemerintah Rusia yang dekat dengan Presiden Vladimir Putin. Meski demikian, sanksi yang diumumkan oleh Departemen Keuangan AS ini adalah sanksi yang paling signifikan terhadap Moskow sejak Presiden AS Donald Trump menjabat pada Januari 2017.

Departemen Keuangan AS menjatuhkan sanksi baru tersebut kepada 19 individu dan lima entitas, termasuk dinas intelijen Rusia yaitu Federal Security Service (FSB) dan Main Intelligence Directorate (GRU). Ada enam orang yang bekerja atas nama GRU yang juga masuk dalam daftar individu yang dikenai sanksi.

Untuk pertama kalinya pemerintahan Trump secara terbuka menyalahkan Moskow atas serangan siber yang dilakukan selama dua tahun terakhir ini. Serangan tersebut banyak menargetkan jaringan listrik AS, termasuk fasilitas nuklir.

Departemen Keuangan AS mengatakan sanksi itu juga dimaksudkan untuk melawan serangan siber, termasuk serangan NotPetya yang merugikan miliaran dolar AS di seluruh Eropa, Asia, dan Amerika. AS dan Inggris bulan lalu telah menyalahkan militer Rusia atas serangan tersebut.

Serangan Rusia yang tercatat mulai terjadi pada Maret 2016 itu juga telah menargetkan pemerintah AS dan beberapa sektor infrastruktur penting AS. Targetnya termasuk sektor energi, nuklir, fasilitas komersial, air, penerbangan, dan sektor manufaktur.

Sanksi baru ini akan memblokir semua properti dari individu dan entitas yang menjadi target, yang tunduk pada yurisdiksi AS. Sanksi tersebut juga akan melarang warga negara AS untuk melakukan transaksi dengan mereka.

Pengusaha Rusia Evgeny Prigozhin, salah satu dari individu yang dikenai sanksi, mengatakan ia telah beberapa kali dijatuhi sanksi oleh AS. "Mungkin ini ketiga atau keempat kalinya, saya bosan menghitungnya. Tetapi saya tidak khawatir dengan sanksi ini. Kecuali jika saya tidak diperbolehkan pergi ke McDonald's," ujar Prigozhin, dikutip kantor berita RIA.

Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dengan tegas mengatakan tindakan pemberian sanksi oleh departemennya bertujuan untuk mencegah aksi destabilisasi yang dilakukan Rusia. Mnuchin mengatakan akan ada sanksi tambahan terhadap pejabat pemerintah Rusia atas aktivitas destabilisasi mereka.

Trump telah menghadapi kritik tajam di negaranya sendiri karena terlalu sedikit memberikan hukuman terhadap Rusia atas campur tangan negara itu dalam pemilihan presiden AS. Penasihat Khusus Robert Mueller saat ini tengah menyelidiki apakah tim kampanye Trump telah berkolusi dengan Rusia.

Sebanyak 16 individu dan entitas Rusia yang dikenai sanksi baru, telah didakwa pada 16 Februari lalu sebagai bagian dari penyelidikan kriminal Mueller. Juru bicara Gedung Putih Sarah Sanders mengungkapkan, Rusia bisa menjadi teman dan lawan bagi AS.

"Rusia harus membuat keputusan itu sendiri. Mereka harus memutuskan apakah mereka ingin menjadi aktor yang baik atau aktor yang buruk," ujar Sanders.

Di Moskow, Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov mengatakan Rusia sedang mempersiapkan tindakan pembalasan. Hal ini karena hubungan AS-Rusia yang sudah mulai membaik, kini kembali terpuruk akibat sanksi.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement