Rabu 17 Jan 2018 12:09 WIB

Tentara Myanmar Makin Populer di Tengah Penyiksaan Rohingya

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Ani Nursalikah
Warga Myanmar menghadiri acara yang mendukung militer negara dan pegawai pemerintah di Yangon, Myanmar, 29 Oktober 2017. Tentara Myanmar menikmati lonjakan popularitas di tengah isu Rohingya.
Foto: AP/Thein Zaw
Warga Myanmar menghadiri acara yang mendukung militer negara dan pegawai pemerintah di Yangon, Myanmar, 29 Oktober 2017. Tentara Myanmar menikmati lonjakan popularitas di tengah isu Rohingya.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Aktivis demokrasi Myanmar Nyo Tun telah menghabiskan waktu 10 tahun sebagai tahanan politik oleh militer Myanmar di penjara Insein, Yangon. Dia mengalami pemukulan dan aksi kekejaman lainnya atas upayanya memperjuangkan demokrasi.

"Pemerintah militer sangat brutal selama bertahun-tahun. Yang mereka tahu hanyalah bagaimana menyiksa siapa pun yang melawan mereka," ujar Nyo Tun, mengacu pada junta militer yang memerintah Myanmar selama beberapa dekade hingga 2012.

 

Nyo Tun juga mengalami pelanggaran HAM langsung, dengan mengatakan dia dipukuli, ditampar, dan tidak diberi makan dan air, serta tidak diberi akses ke toilet selama berhari-hari. Namun saat ini, ia justru membela militer Myanmar dalam menghadapi Rohingya.

 

"Kediktatoran militer berada di masa lalu dan institusi militer yang baru saat ini telah jauh berbeda. Tidak mungkin militer melakukan kejahatan di Rakhine. Mereka membela negara dan itulah bagaimana mereka mendapatkan dukungan dari orang-orang, karena semua ini menyangkut semangat nasional," ujarnya.

 

Myanmar, yang telah lama terisolasi oleh sanksi internasional, telah mengalami transformasi dalam beberapa tahun terakhir. Seorang mantan tahanan politik, peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, terpilih sebagai kepala pemerintahan sipil Myanmar, yang menyebabkan berkurangnya sebagian besar sanksi dan mulai masuknya investasi asing.

 

photo
Etnis Rohingya ditangkap oleh tentara Myanmar dan kemudian dilepaskan, menunjukkan bekas luka di tangannya di sebuah desa Rohingya luar Maugndaw di negara bagian Rakhine, Myanmar 27 Oktober 2016.

 

Namun, perubahan yang paling mencolok adalah pandangan mayoritas umat Buddha Burma terhadap militer Myanmar. Institusi yang pernah dibenci ini justru menikmati lonjakan popularitas bersamaan dengan meningkatnya nasionalisme umat Buddha.

 

Hal ini terjadi setelah mereka melakukan tindakan keras terhadap Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine di Myanmar barat. Insiden ini telah menyebabkan ribuan orang tewas dan lebih dari 650 ribu lainnya mengungsi.

 

Saat dunia internasional mengutuk tindakan keras militer Myanmar yang telah menyebabkan krisis pengungsi terburuk di Asia dalam beberapa dasawarsa itu, warga Myanmar justru mendukungnya. Mereka melihat warga Rohingya sebagai migran ilegal dari Bangladesh yang merupakan ancaman terhadap keamanan nasional.

 

Pada November lalu, militer Myanmar mengaku telah melakukan penyelidikan internal atas kekerasan yang terjadi di Rakhine dan menyatakan tentaranya tidak bersalah. Namun, dengan mengutip bukti-bukti yang dapat dipercaya terkait pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran desa, AS telah memberikan sanksi untuk Kepala Komando Barat Angkatan Darat Mayjen Maung Maung Soe yang bertanggung jawab atas operasi keamanan di Rakhine.

 

Ribuan warga Myanmar berkumpul di kota-kota di seluruh negeri untuk mendukung militernya yang dikenal sebagai Tatmadaw. Panglima Tertinggi Jenderal Aung Hlaing yang tetap secara konstitusional berada di luar kendali pemerintahan Suu Kyi banyak menuai pujian.

 

"Hiduplah panglima dan komandan militer. Tentara telah melakukan dengan baik untuk negara ini, kami sangat bangga akan hal itu. Terima kasih telah menumpas semua teroris Bengali," ujar masyarakat Myanmar.

 

photo
Seorang tentara Myanmar tengah berjaga di bangunan yang rusak di Sittwe, Rakhine, Myanmar.

 

 

Pujian semacam ini tidak pernah diberikan untuk junta militer Myanmar terdahulu. Junta telah menutup negara dari luar selama beberapa dekade dan warganya tidak diizinkan menonton berita internasional apalagi mendapatkan akses internet. Mereka dilarang berbicara tentang politik dan melakukan demonstrasi.

 

Militer Myanmar saat itu terlibat dalam perang saudara dengan pemberontak etnis yang berjuang untuk menentukan nasib sendiri dan hak-hak masyarakat adat. Ketika terjadi pemberontakan pro-demokrasi seperti pada 1988 dan 2007, militer Myanmar melakukan tindakan keras yang membuat ratusan orang tewas dan dipenjara.

 

"Tatmadaw tidak lagi menjadi institusi yang paling dicerca dan sedang menikmati kebangkitan, setidaknya di tengah masyarakat etnis Burman," kata David Mathieson, seorang analis politik independen yang sebelumnya bekerja dengan Human Rights Watch.

 

Bangladesh-Myanmar Sepakat Selesaikan Pemulangan Rohingya

 

Setelah pemilihan 2015, saat masyarakat mengirim pesan yang jelas mereka tidak lagi mentolerir kediktatoran militer, tentara Myanmar justru berfokus pada aksi kekerasan terhadap pemberontak Rohingya. Mereka juga memiliki kredibilitas demokratis yang diberikan oleh pemerintah Suu Kyi.

 

"Transisi ke demokrasi berjalan dengan indah untuk mereka karena adanya ingatan akan represi yang semakin pudar dalam masyarakat umum," ujar Mathieson.

 

Yang paling mengkhawatirkan bagi banyak pengamat adalah dukungan aktivis pro-demokrasi terhadap militer Myanmar. Alih-alih menunjukkan solidaritas terhadap Rohingya yang tertindas, beberapa aktivis justru terjebak dalam kefanatikan.

 

"Banyak orang yang telah dimanfaatkan oleh tentara. Kami memiliki kompleksitas dengan kelompok etnis minoritas dan masalah ini tidak dapat diselesaikan dalam semalam. Namun, setiap aktivis hak asasi manusia seharusnya tidak diam terhadap pelanggaran hak asasi manusia apa pun jenis penderitaan orang tersebut," kata Sithu Maung, mantan aktivis yang menghabiskan waktu lebih dari empat tahun di penjara.

 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement