Kamis 18 Jan 2018 00:03 WIB

Mengenal Tradisi Chauupadi yang Tewaskan Wanita Nepal

Rep: Marniati/ Red: Ani Nursalikah
Praktik chauupadi atau mengasingkan perempuan yang sedang menstruasi atau haid di sebuah gubuk di Nepal.
Foto: Reuters
Praktik chauupadi atau mengasingkan perempuan yang sedang menstruasi atau haid di sebuah gubuk di Nepal.

REPUBLIKA.CO.ID, KATHMANDU -- Sebuah daerah terpencil di barat Nepal, Achham masih menjalankan tradisi Hindu kuno yang dikenal dengan Chauupadi. Ini adalah sebuah tradisi dimana perempuan diusir dari rumah mereka saat sedang menstruasi.

Dilansir Aljazirah, Rabu (17/1), pemerintah dan pekerja bantuan telah melakukan sosialisasi ke setiap rumah selama hampir satu dekade untuk melakukan advokasi melawan chauupadi.Tujuan utamanya adalah mengakhiri segregasi. Namun bahaya yang mengintai para perempuan yang menjalankan tradisi ini semakin menambah urgensi lebih lanjut untuk melakukan kampanye tersebut.
 
Di Achham sendiri, setidaknya 12 wanita telah meninggal saat mengikuti chauupadi sejak 2007. Dan baru pekan lalu, praktik tersebut kembali merenggut nyawa.
 
Seorang perempuan berusia 22 tahun, Gauri Kumari Budha diitemukan tewas pada 8 Januari setelah menghabiskan malam di sebuah gubuk chauupadi. Gubuk tanpa jendela tersebut digunakan wanita untuk mengasingkan dirinya selama masa menstruasi.
 
Pejabat mengatakan Gauri meninggal karena menghirup asap dari api yang ia nyalakan untuk mencegah flu. Orang lain sebelumnya meninggal karena gigitan ular dan infeksi.
 
Ini adalah kematian pertama yang dilaporkan sejak parlemen Nepal menetapkan chauupadi sebagai tindakan ilegal tahun lalu. Undang-undang yang baru, yang akan mulai berlaku pada Agustus, menetapkan hukuman penjara tiga bulan dan denda 30 dolar AS bagi mereka yang memaksa wanita mengikuti tradisi tersebut.
 
Birendra Budha, suami Gauri yang berusia 18 tahun, mengaku mengetahui chauupadi ilegal. Ia telah menyarankan istrinya tidak tidur di gubuk tersebut.
 
"Dulu saya sering memberitahukannya tidak tidur di pondok itu karena tidak aman dan tidak higienis. Tapi orang-orang di sini dogmatis dalam kepercayaan mereka dan banyak wanita melakukan chauupadi bahkan jika mereka diberi tahu untuk tidak melakukannya," kata Birendra yang berprofesi sebagai polisi di Kathmandu.
 
photo
Gubuk yang digunakan perempuan Nepal saat melakukan tradisi chauupadi atau diasingkan karena sedang menstruasi.
 
 
Menurut Birendra, masyarakat harus diberi tahu haid tidak ada hubungannya dengan agama. Di ujung barat Nepal, di mana tradisi chauupadi lazim, banyak yang percaya wanita yang sedang menstruasi tidak bersih dan bisa membawa nasib buruk bagi keluarga mereka. Selain dipaksa untuk keluar dari rumah, wanita yang sedang menstruasi juga dilarang menghadiri pertemuan sosial, dilarang mengonsumsi beberapa makanan dan juga dilarang masuk toilet di rumah mereka.
 
Dua aktivis lokal, dalam sebuah artikel baru-baru ini menulis perempuan yang menjalankan tradisi ini masih mempercayai mitos seputar menstruasi. Mereka mengkaitkan menstruasi dengan hal-hal mistis.
 
"Mereka percaya jika seorang wanita yang sedang haid mengambil air, sumur akan mengering. Jika dia menyentuh pohon, tidak akan pernah lagi berbuah atau akan mati; jika dia mengkonsumsi susu, sapi akan berhenti memberi susu; jika dia membaca sebuah buku, dewi pendidikan Saraswati akan marah, jika dia menyentuh seorang pria, dia akan sakit," tulis aktivis tersebut.
 
Seorang advokat kesehatan wanita Pema Lhaki mengaku sedih dan marah atas kematian Gauri."Ketika pasangan seorang polisi Nepal meninggal karena chauupadi, itu memberi Anda indikasi tentang tantangan yang kita hadapi dalam mengakhiri praktik ini," katanya.
 
Menurut Lhaki, masih banyak usaha yang perlu dilakukan untuk mengakhiri chauupadi. Salah satunya meningkatkan kesadaran tentang ilmu di balik menstruasi dan meningkatkan peran pemimpin agama dan politik dalam proses ini.
 
photo
(The Himalayan Times)
 
 
Ia mengatakan, para perempuan yang menjalankan praktik ini percaya praktik tersebut dapat melindungi keluarga mereka. "Jika saya diberi tahu tindakan saya dapat membahayakan putri, suami atau keluarga saya, tentu saja saya akan melakukannya," katanya.
 
Lhaki memuji undang-undang baru yang diterapkan pemerintah untuk melawan praktik ini. Namun menurutnya perempuan dan anak perempuan akan terus meninggal atau menderita masalah kesehatan lainnya selama orang-orang menghubungkan menstruasi dengan ketidakmurnian.
 
"Tanpa perubahan keyakinan semacam itu, para wanita itu sendiri akan menyembunyikan dan melakukannya, dan mereka tidak akan melapor bahkan ketika undang-undang tersebut mulai berlaku," kata Lhaki.
 
Pendiri badan amal Action Works Nepal Radha Paudel mengatakan solusi atas permasalahan ini yaitu mengadakan dialog nasional tentang stigma menstruasi. "Sangat sederhana. Menstruasi itu wajar dan kita perlu menyampaikan pesan ilmiahnya," katanya.
 
Paudel mengatakan di distrik Jumla di Nepal tengah, perubahan itu sedang berlangsung. Menurutnya langkah penting yang harus dilakukan, yaitu mendidik dukun desa tentang menstruasi.
 
Seorang dukun berusia 38 tahun dari desa Tila-3 di Jumla, Megh Nath Yogi mengatakan dia berhenti meminta perempuan melakukan chauupadi ketika dia mengerti menstruasi adalah proses alami.
 
"Mereka berpandangan Tuhan akan marah jika wanita tinggal di rumah selama masa menstruasi. Jadi saya katakan kepada mereka, saya akan merawat Tuhan tapi jangan mengirim wanita ke gubuk chauupadi," katanya.
 
Pada 2005, Mahkamah Agung Nepal melarang praktik chauupadi. Namun, sejumlah perempuan masih mengikuti chauupadi. Hal ini mendorong pemerintah memberikan sanksi hukum bagi yang masih menjalankan praktik tersebut.
 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement