Ahad 11 Feb 2018 13:17 WIB

Nasib Pengungi Aghanistan: Tinggal atau Kembali untuk Mati

Pakistan menampung sekitar 1,4 juta pengungsi Afghanistan yang terdaftar.

Pengungsi Afgahnistan di perbatasan Pakistan.
Foto: Saudigazette.com
Pengungsi Afgahnistan di perbatasan Pakistan.

REPUBLIKA.CO.ID, PESHAWAR — “Kematian menanti Anda di Afghanistan,” kata pengungsi Mohammad Wali. Dia  bersikeras bahwa lebih memilih untuk bertahan dalam keberadaan yang suram di sebuah kamp Pakistan daripada pulang ke rumah dan terbunuh.

Islamabad telah semakin menempatkan pengungsi Afghanistan diperbatasannya dalam beberapa pekan terakhir. Negara itu pun mengklaim bahwa militan bersembunyi di kamp-kamp Pakistan dan meminta semua pengungsi dipulangkan sebagai bagian dari kampanye untuk menghapuskan ekstremisme.

Tapi di Afghanistan, hampir empat dekade setelah invasi Soviet mengirikan pengungsi pertama yang mengalir melewati perbatasan, Taliban ternyata bangkit kembal. Mereka bersama warga sipil yang berulang kali tertangkap dalam pembantaian tersebut.

Beberapa hari setelah serentetan serangan mematikan menewaskan lebih dari 130 orang, Wali, yang mengenakan mantel lusuh, mengatakan bahwa sebuah panggilan baru-baru ini ke keluarganya di ibukota Afghanistan dipenuhi dengan berita mengerikan.

"Mereka mengatakan kepada saya tentang serangan mengerikan dan pembom yang meniupnya dan tidak ada yang lain," kata Wali yang penjual buah itu.

Data dari PBB menyatakan Pakistan menampung sekitar 1,4 juta pengungsi Afghanistan yang terdaftar. Sebanyak 700.000 pengungsi lainnya yang tidak berdokumen juga diyakini tinggal di negara ini.

Orang-orang Pakistan telah lama memandang mereka dengan curiga. Polisi menuduh mereka dengan dugaan peleceha, dan pemerasan bersamaan dengan penangkapan sewenang-wenang.

"Bahkan topi kita dibawa ke sini (oleh polisi)," kata Wali.

Dalam beberapa pekan terakhir retorika anti-pengungsi oleh para pejabat telah memanas lagi. Hal ini terjadi terutama saat mereka mendapat tekanan AS yang meningkat atas tempat-tempat aman militan.

"Pakistan juga telah menekankan perlunya pemulangan kembali pengungsi Afghanistan. Apalagi sejak kehadiran mereka di Pakistan membantu teroris Afghanisntan,” kata kementerian luar negeri, menyusul serangan pesawat tak berawak AS di sabuk kesukuan bulan lalu.

Tekanan resmi bertepatan dengan memburuknya opini publik terhadap para pengungsi. Beberapa orang Pakistan mengatakan bahwa orang-orang Afghanistan telah melewati batas waktu penyambutan mereka.

"Sudah cukup, kami melayani mereka selama 40 tahun, berbagi rumah kami dan memperlakukan mereka sebagai tamu," kata warga Peshawar, Mehmood Khan.

Badan pengungsi PBB telah memperingatkan terhadap pemulangan paksa atau paksa, dengan mengatakan bahwa mereka secara sukarela.

Pada akhir Januari, Pakistan memperpanjang tenggat waktu 60 hari bagi para pengungsi yang memegang bukti kartu registrasi untuk meninggalkan wilayahnya.

Tapi karena keamanan di Afghanistan semakin memburuk, pengungsi di sebuah kamp di Islamabad mengatakan bahwa sukarelawan akan kekurangan pasokan. Di kamp di pinggiran Islamabad saat anak-anak kecil bermain kriket di debu dekat rumah bata lumpur mereka mengaku kekurangan listrik dan air bersih.

Tapi di antara mereka tidak ada yang berbicara dengan AFP, seperti di lansir Al Arabiya, yang mengtakaningin pergi dari kamp itu.

"Tidak ada yang tersisa di tanah air saya. Kecuali hanya perang dan pertempuran," kata Hajji Shahzada (60 tahun), yang datang ke Pakistan selama invasi Soviet empat dekade yang lalu.

Sebuah laporan baru-baru ini oleh Dewan Pengungsi Norwegia menemukan bahwa tujuh dari 10 orang Afghanistan yang telah kembali setelah tinggal sebagai pengungsi di luar negeri, telah mengungsi dua kali. Mereka dikejar dan lari dari tempat ke tempat oleh pemberontakan.

“Temuan tersebut seharusnya memberi negara tuan rumah pengungsi Afghanistan jeda,” kata sekretaris jenderal NRC, Jan Egeland.

"Sekarang bukan waktunya untuk mendeportasi orang-orang Afghanistan. Sebab, ini dapat mengganggu kestabilan seluruh wilayah dan menyebabkan penderitaan yang tak terukur," katanya dalam laporan tersebut.

Seringkali perjalanan pengungsi berada  di pusat kota besar seperti Kabul. Mereka hidup dan bersaing dengan sumber daya yang kurang banyak.

“Kabul memang berusaha menguasai populasi yang meluas dan ekonomi yang lemah.  Namun, kota itu telah gagal untuk membantu mereka, kata Sher Agha, seorang perwakilan untuk para pengungsi di Islamabad.

"Menyediakan lapangan kerja dan pekerjaan adalah masalah lain. Tapi paling tidak mereka butuh tempat berteduh," katanya lagi.

Beberapa pengungsi mengatakan, karena kondisinya sangat suram sehingga membuat banyak orang yang kembali menyelinap kembali melintasi perbatasan dengan diam-diam untuk menjalani hidup mereka di Pakistan.

sumber : saudigazette.com/AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement