Jumat 23 Feb 2018 14:37 WIB

Myanmar Ratakan Desa Rohingya dengan Bulldozer

Jumlah desa yang diratakan jauh lebih banyak dari yang telah dilaporkan sebelumnya.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nidia Zuraya
Citra satelit dari Human Rights Watch / Digital Globe ini menunjukkan empat desa di kota Maungdaw, negara bagian Rakhine utara, Myanmar pada 2 Desember 2017.
Foto: Human Rights Watch/Digital Globe via AP
Citra satelit dari Human Rights Watch / Digital Globe ini menunjukkan empat desa di kota Maungdaw, negara bagian Rakhine utara, Myanmar pada 2 Desember 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Setelah membakar habis desa-desa Muslim Rohingya, pemerintah Myanmar kini menggunakan bulldozer untuk meratakannya dengan tanah. Aksi ini dinilai dapat menghancurkan bukti penting kekejaman mereka terhadap minoritas etnis tersebut.

Gambar satelit yang menunjukkan wilayah utara Negara Bagian Rakhine di Myanmar, mengungkap beberapa desa dan dusun kosong telah benar-benar diratakan oleh pihak berwenang dalam beberapa pekan terakhir. Gambar tersebut diambil oleh DigitalGlobe yang berbasis di Colorado pada Jumat (23/2) dan dilihat langsung oleh Associated Press.

Jumlah desa yang diratakan jauh lebih banyak dari yang telah dilaporkan sebelumnya. Desa-desa itu dibakar pada Agustus lalu ketika tentara Myanmar melancarkan operasi kekerasan yang telah mendorong ratusan ribu warga Rohingya untuk melarikan diri ke Bangladesh.

Pendukung hak asasi manusia (HAM) khawatir pemerintah Myanmar akan menghancurkan bukti di TKP sebelum penyelidikan kredibel dilakukan. Namun, pemerintah justru mengklaim mereka sedang berusaha membangun kembali wilayah yang hancur di Rakhine.

Tindakan pemerintah ini juga membuat pengungsi Rohingya takut. Mereka percaya pemerintah sengaja menghancurkan sisa-sisa budaya mereka, sehingga hampir tidak mungkin mereka pulang ke rumah mereka di Myanmar.

Seorang pengungsi Rohingya di Bangladesh bernama Zubairia mengaku sempat pulang ke Rakhine untuk melihat rumahnya di Desa Myin Hlut. Namun ia terkejut dengan apa yang telah terjadi dengan desanya, karena semuanya telah rata dengan tanah.

"Sebagian besar rumah telah dibakar tahun lalu, tapi sekarang semuanya hilang, bahkan tidak ada pohon yang tersisa. Mereka telah membuldozer segalanya. Saya hampir tidak bisa mengenalinya," kata Zubairia.

Gadis berusia 18 tahun itu mengatakan, rumah yang tidak rusak tetapi ditinggalkan pemiliknya, juga turut diratakan. "Semua kenangan yang saya miliki hilang. Mereka sudah terhapus," ungkapnya.

Tentara Myanmar tidak hanya dituduh membakar desa-desa Rohingya dengan bantuan warga Buddha, tapi juga melakukan pembantaian massal, pemerkosaan, dan penjarahan yang meluas. Krisis terakhir di Rakhine dimulai pada Agustus lalu, setelah gerilyawan Rohingya meluncurkan serangkaian serangan terhadap pos keamanan Myanmar.

Foto-foto udara dari desa-desa yang diratakan di Rakhine utara pertama kali diambil pada 9 Februari lalu. Saat itu Duta Besar Uni Eropa untuk Myanmar, Kristian Schmidt, menggunggah foto desa yang rata dengan tanah di selatan Kota Maungtaw, yang diambil dari atas pesawat terbang.

Gambar satelit dari DigitalGlobe menunjukkan setidaknya ada 28 desa yang diratakan oleh bulldozer dan mesin lainnya dalam radius sekitar 50 kilometer di sekitar Maungdaw antara Desember hingga Februari. Di beberapa area yang telah dibersihkan, pekerja konstruksi telah membangun bangunan baru, struktur perumahan, dan helipad.

Foto-foto satelit tersebut memberikan gambaran penting mengenai situasi di Rakhine, yang sebagian besar tertutup dari dunia luar. Myanmar telah melarang akses media independen ke negara bagian itu.

Pemerintah Myanmar telah berbicara tentang rencana untuk membangun kembali wilayah tersebut. Pemerintah mengklaim sedang sibuk mengembangkan jalan, memperbaiki jembatan, dan membangun tempat penampungan, termasuk puluhan kamp transit di Taungpyo, dekat perbatasan Bangladesh.

Kamp itu dibuka pada Januari lalu untuk menampung pengungsi Rohingya yang kembali. Namun tidak ada pengungsi yang datang dan mereka justru terus melarikan diri.

Myint Khine, seorang pejabat administrasi pemerintahan di Maungdaw, mengatakan beberapa rumah yang baru dibangun ditujukan untuk ditinggali warga Rohingya. Namun rumah-rumah itu bukan bagian dari rencana pemulangan dan banyak warga Rohingya yang merasa pemerintah telah menguasai lahan yang telah mereka miliki selama beberapa generasi.

Sebuah daftar yang dirilis pemerintah Myanmar pada Desember lalu menunjukkan, sebanyak 787 rumah akan dibangun. Namun sebagian besar rumah-rumah itu akan ditinggali warga Buddha dan hanya 22 rumah yang ditujukan untuk warga Rohingya.

"Tentu saja kita telah menggunakan mesin perata tanah dan bulldozer karena kita harus membersihkan lahan terlebih dahulu sebelum membangun rumah baru," kata Myint Khine.

Chris Lewa dari Arakan Project, yang memantau keadaan minoritas Rohingya yang teraniaya, mengatakan perataan desa-desa itu akan semakin menyulitkan warga Rohingya. Karena tidak memiliki kewarganegaraan, mereka akan sulit merebut kembali tanah mereka.

"Bagaimana mereka bisa mengidentifikasi di mana mereka tinggal, jika tidak ada yang tersisa, jika tidak ada yang bisa dikenali? Budaya mereka, sejarah mereka, masa lalu mereka, masa kini, semuanya terhapus. Bila Anda melihat gambarnya, jelas tidak ada apapun yang tersisa, masjid, kuburan, dan rumah mereka hilang," ujar Lewa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement