Jumat 09 Mar 2018 05:55 WIB

Pemain Kriket Kecam Bentrokan di Sri Lanka

Pemain kriket legendaris Sri Lanka mengutuk kekerasan yang terjadi di negara itu

Rep: Farah Noersativa/ Red: Bayu Hermawan
Tentara Sri Lanka berdiri di sebuah rumah yang dirusak di Digana di pinggiran Kandy, Sri Lanka, Senin (6/3). Sekelompok umat Budha merusak dan membakar sedikitnya 11 toko milik Muslim.
Foto: AP/Pradeep Pathiran
Tentara Sri Lanka berdiri di sebuah rumah yang dirusak di Digana di pinggiran Kandy, Sri Lanka, Senin (6/3). Sekelompok umat Budha merusak dan membakar sedikitnya 11 toko milik Muslim.

REPUBLIKA.CO.ID, MUMBAI -- Dalam situs media sosial Twitter, dua pemain Kriket legendaris Sri Lanka, Kumar Sangakkara dan Mahela Jayawerdana memberikan pernyataan keprihatinanannya dan mengutuk tindakan kekerasan yang terjadi di Sri Lanka.

"Saya sangat mengutuk tindakan kekerasan baru-baru ini dan setiap orang yang terlibat harus diadili tanpa membedakan ras / agama atau etnisitas," Jayawardena pada twitternya, Rabu (7/3) lalu.

Sri Lanka pada pekan ini memblokir akses ke jejaring sosial dan dua platform lain yang dimiliki Facebook, yakni WhatsApp, dan Instagram. Hal itu dalam upaya untuk membendung kekerasan massa kepada minoritas Muslim di Sri Lanka.

Pemerintah Sri Lanka memerintahkan penyedia layanan internet dan operator telepon seluler sejak Rabu (7/3) lalu untuk sementara memblokir layanan bersama dengan Viber, aplikasi perpesanan lainnya."Platform ini dilarang karena menyebarkan pidato kebencian," kata Harindra B. Dassanayake, juru bicara pemerintah, dalam sebuah wawancara telepon pada hari Kamis (8/3), seperti dilansir dari The New York Times.

Pemerintah Sri Lanka juga memberlakukan keadaan darurat nasional setelah terjadi pemerkosaan pada Ahad (4/3) di salah satu kota utama di pulau itu, di mana puluhan bisnis Muslim, rumah dan setidaknya satu masjid diserang. Peristiwa itu menyebabkan seorang terbunuh.

Sri Lanka menjadi negara terakhir yang bergulat dengan pidato kebencian yang disebarkan di Facebook, terutama di belahan dunia yang baru saja aktif online di dunia maya itu.  Kasus kelompok pinggiran ekstremis yang menggunakan jangkauan Facebook untuk memperbesar pesan mereka.

Sementara di Myanmar, jaringan media sosial tersebut diblolkir lantaran mengizinkan pidato ujaran kebencian menyebar memperluas perpecahan etnis dan memicu kekerasan terhadap kelompok etnis Rohingya. Dassanayake menyalahkan mayoritas Buddhis Sri Lanka, juga Muslim, karena menyebarkan informasi palsu di jejaring sosial.

"Beberapa serangan yang sebenarnya tidak terjadi sedang dilaporkan. Ini menyebar bahwa kita diserang dan kita harus merespon, "kata Dassanayake. Dalam beberapa kasus, orang juga berbagi informasi tentang bagaimana membuat bom sederhana, katanya.

(Baca juga: Muslim Sri Lanka Khawatir Diserang Saat Shalat Jumat)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement