Selasa 13 Mar 2018 12:50 WIB

Myanmar Tolak Tim Penyelidik PBB

Hingga saat ini masyarakat Rohingya masih terus melarikan diri dari Myanmar.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nidia Zuraya
Pengungsi Muslim Rohingya melintasi sungai Naf di perbatasan Myanmar-Bangladesh, untuk menyelematkan diri mereka dari genosida militer Myanmar. (foto file)
Foto: AP/Bernat Armangue
Pengungsi Muslim Rohingya melintasi sungai Naf di perbatasan Myanmar-Bangladesh, untuk menyelematkan diri mereka dari genosida militer Myanmar. (foto file)

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Ketua Misi Pencarian Fakta Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Myanmar Marzuki Darusman menyebut Myanmar menolak memberikan akses kepada penyelidik PBB untuk memasuki negara tersebut. Hal ini menghambat proses penyelidikan independen yang berupaya menguak dugaan pembersihan etnis dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap etnis Rohingya di sana.

Berbicara di Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, pada Senin (12/3), Marzuki mengungkapkan hingga saat ini masyarakat Rohingya masih terus melarikan diri dari Myanmar. "Jumlah pendatang baru di tenda-tenda (pengungsian) di Bangladesh berlanjut dengan kecepatan hingga 1.000 orang per pekan," katanya seperti dikutip laman Anadolu Agency.

Hal ini menguatkan dugaan bahwa Myanmar masih melakukan kekerasan terhadap Rohingya. Hal ini pun disampaikan Marzuki pada kesempatan tersebut.

"Peristiwa yang kami periksa secara terperinci di negara bagian Rakhine, Kachin, dan Shan adalah produk dari pola pelanggaran dan kekerasan terhadap hak asasi manusia yang telah berlangsung lama di Myanmar," ujarnya.

Pemerintah Myanmar telah menyatakan akan menerima kembali pengungsi Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh. Namun Myanmar, kata Marzuki, telah membuldoser tanah-tanah di Rakhine yang menyebabkan penggambaran batas-batas rumah dan tanah milik orang-orang Rohingya yang melarikan diri tak dapat dilacak.

"Sulit untuk melihat bagaimana mereka yang kembali dapat membangun kembali kehidupan masa lalunya," ucapnya.

Menurut Marzuki, baik otoritas dan militer Myanmar telah melabeli seluruh populasi Rohingya sebagai imigran ilegal Bengali dan teroris ekstremis. "Jadi sangat penting bagi orang-orang (Rohingya) yang telah kehilangan tempat tinggal untuk tidak dikembalikan tanpa jaminan perlindungan hak asasi manusia yang memadai," kata Marzuki.

Selama mengemban tugas sebagai ketua misi pencarian fakta PBB di Myanmar, Marzuki telah mewawancari lebih dari 600 etnis Rohingya yang menjadi korban kekerasan militer Myanmar. Marzuki juga mewawancari saksi-saksi yang menyaksikan kekerasan tersebut.

Sejak pecahnya kekerasan pada 25 Agustus tahun lalu di Rakhine, lebih dari 750 ribu etnis Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh. Mereka meninggalkan kampungnya agar terhindar dari kebrutalan militer Myanmar.

Menurut Doctors Without Borders, sedikitnya 9.000 Rohingya tewas di Rakhine sejak 25 Agustus hingga 24 September2017. PBB sendiri telah melakukan investigasi terkait kekerasan di Rakhine.

Hasilnya ditemukan adanya kejadian pemerkosaan masaal, pembunuhan, serta penghilangan paksa yang dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar. Kendati demikian, hingga saat ini Myanmar masih menyangkal hasil laporan-laporan tersebut.

Myanmar dan Bangladesh telah mencapai kesepakatan repatrasi pengungsi Rohingya pada November 2017. Namun kesepakatan ini dianggap masih cacat karena belum menyinggung dan menyantumkan perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi pengungsi yang kembali ke desanya di negara bagian Rakhine.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement