Selasa 13 Mar 2018 13:45 WIB

PBB: Myanmar Buat Warga Rohingya di Rakhine Kelaparan

Proses repatriasi yang telah disepakati Myanmar dan Bangladesh harus dikaji kembali.

Rep: Kamran Dikamra/ Red: Nidia Zuraya
Pengungsi Muslim Rohingya.
Foto: AP
Pengungsi Muslim Rohingya.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia (HAM) di Myanmar Yanghee Lee menuding Pemerintah Myanmar menerapkan kebijakan yang memaksa warga Rohingya di Rakhine kelaparan. Hal ini disampaikannya ketika menghadiri pertemuan dengan Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, Senin (12/3).

"Tampaknya ada kebijakan kelaparan paksa di tempat, yang dirancang untuk membuat kehidupan di Rakhine utara tidak berkelanjutan bagi orang-orang Rohingya yang tetap tinggal," kata Lee, dilaporkan laman Anadolu Agency.

Kata tinggal dalam kalimat Lee merujuk pada Rohingya yang tak melarikan diri dari Rakhine setelah pecahnya kekerasan pada 25 Agustus tahun lalu. Atas dasar ini, Lee menilai proses repatriasi yang telah disepakati Myanmar dan Bangladesh harus dikaji kembali.

 

Hal ini karena dalam kesepakatan tersebut belum termaktub poin tentang jaminan perlindungan keamanan dan keselamatan bagi warga Rohingya yang kembali. "Sebelum pemulangan, dapat benar-benar dipertimbangkan, Myanmar harus memutus siklus kekerasan di Rakhine, mengakui hak Rohingya untuk mengidentifikasi diri, memulihkan kewarganegaraan mereka, dan menjunjung tinggi hak asasi mereka," kata Lee memaparkan.

Menurut Lee, Pemerintah Myanmar tidak hanya harus bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan di Rakhine sejak 9 Oktober 2016 dan 25 Agustus 2017, tetapi hingga saat ini. Sebab, walaupun kesepakatan repatriasi telah tercapai, masih cukup banyak orang Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh.

Ia pun mengkhawatirkan tentang pembuldoseran tanah yang dilakukan Myanmar di Rakhine. Desa-desa yang dulunya adalah rumah bagi warga Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh telah dibuldoser ke tanah. "Baru kemarin citra satelit menunjukkan pangkalan militer sedang dibangun di daerah yang dibuldoser ini," kata Lee.

Pada 25 Agustus 2017, militer Myanmar menggelar operasi di Rakhine guna memburu anggota Tentara Pembebasan Rohingya Arakan yang dicap pemberontak. Namun, dalam operasinya, militer Myanmar disebut turut membantai warga sipil yang tak tahu apa-apa, kemudian membakar permukiman mereka.

Menurut Doctors Without Borders, sedikitnya 9.000 orang Rohingya tewas sejak 25 Agustus hingga 24 September2017. Akibat operasi militer tersebut, lebih dari 750 ribu etnis Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Mereka mengungsi karena takut menjadi korban kebrutalan militer Myanmar.

PBB telah melakukan investigasi terkait kekerasan di Rakhine. Hasilnya, ditemukan adanya kejadian pemerkosaan masaal, pembunuhan, serta penghilangan paksa yang dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar. Kendati demikian, hingga saat ini Myanmar masih menyangkal hasil laporan-laporan tersebut.

Myanmar dan Bangladesh telah mencapai kesepakatan repatriasi pengungsi Rohingya pada November 2017. Namun, kesepakatan ini dianggap masih cacat karena belum menyinggung dan mencantumkan perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi pengungsi yang kembali ke desanya di negara bagian Rakhine.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement