Kamis 26 Apr 2018 17:21 WIB

Jurnalis Reuters yang Ditangkap di Myanmar Dijebak Polisi

Pengadilan di Yangon telah mengadakan persidangan dua wartawan ini sejak Januari

Rep: Crystal Liestia Purnama/ Red: Nidia Zuraya
Palu Hakim (Ilustrasi)
Palu Hakim (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Seorang polisi bersaksi di pengadilan Myanmar bahwa dua jurnalis Reuters yang ditangkap itu dijebak. Namun pada Rabu (25/4) jaksa mengatakan bahwa petugas polisi itu dinyatakan sebagai saksi yang tidak dapat diandalkan.

Hakim akan menentukan pekan depan apakah saksi yang merupakan kapten polisi tersebut dapat dipercaya. Kapten Moe Yan Naing mengatakan kepada pengadilan pada hari Jumat pekan lalu bahwa seorang perwira senior telah memerintahkan polisi untuk menjebak salah satu dari dua wartawan yang ditangkap pada Desember tersebut. Perwira itu mengatakan kepada polisi untuk bertemu reporter Wa Lone di sebuah restoran di Yangon dan memberinya dokumen rahasia.

Jaksa telah memanggil Moe Yan Naing sebagai saksi terhadap Wa Lone (32 tahun), dan Kyaw Soe Oo (28 tahun). Akan tetapi jaksa tersebut meminta pengadilan untuk menyatakan dia sebagai saksi yang berlawanan setelah kesaksiannya justru melemahkan kasus mereka.

Pengadilan di Yangon telah mengadakan sidang sejak Januari untuk memutuskan apakah wartawan Reuters itu akan dituntut di bawah Undang-undang Rahasia Resmi era kolonial. Jika diputuskan, makan mereka bisa mendapatkan hukuman maksimal 14 tahun penjara.

Pada saat penangkapan, para wartawan itu telah melakukan investigasi terhadap pembunuhan 10 pria dan anak laki-laki Muslim Rohingya di sebuah desa di negara bagian Rakhine, Myanmar barat. Pembunuhan itu terjadi selama penumpasan tentara yang dikatakan badan-badan PBB yang menyebabkan hampir 700 ribu orang melarikan diri ke Bangladesh.

Sebuah foto dari 10 korban yang diambil sesaat sebelum mereka dibunuh diterbitkan oleh Reuters pada bulan Februari. Perilisan gambar tersebut sebagai bagian dari laporan tentang peristiwa di desa Inn Din. Dalam gambar tersebut menunjukkan Moe Yan Naing menjadi latar belakang, memegang senapan.

Pada sidang hari Rabu (25/4), jaksa mengatakan kesaksian Moe Yan Naing tidak dapat dipercaya karena dia telah menceritakan kisah yang berbeda kepada polisi ketika dia ditangkap. Mereka juga mengatakan Moe Yan Naing menyimpan dendam karena dia menghadapi tuduhan pelanggaran.

Pengacara pembela Khin Maung Zaw mengatakan jaksa penuntut belum membuat bukti prasangka. Dia mengatakan kesaksian kapten polisi di pengadilan tidak bertentangan dengan pernyataan sebelumnya, karena dia belum ditanya tentang rincian penangkapan wartawan Reuters pada saat penangkapannya sendiri.

"Tidak ada alasan untuk menemukan bahwa Moe Yan Naing berbohong," kata Khin Maung Zaw kepada wartawan setelah sidang.

Sementara itu juru bicara pemerintah Myanmar Zaw Htay tidak segera memberikan komentar. Dia menolak berkomentar setelah sidang sebelumnya, dengan mengatakan pengadilan negara itu independen.Penuntut utama Kyaw Min Aung juga tidak menanggapi permintaan untuk komentar setelah sidang.

Moe Yan Naing tidak berada di pengadilan pada hari Rabu. Dia ditangkap pada 12 Desember, hari yang sama dengan ditangkapnya Wa Lone dan Kyaw Soe Oo.

Dia mengatakan kepada pengadilan pekan lalu bahwa dia adalah salah satu dari beberapa petugas dari paramiliter Batalion Polisi Keamanan 8 yang telah memberikan wawancara kepada Wa Lone. Pada hari itu dia diinterogasi tentang hubungan mereka dengan wartawan Reuters tersebut.

Moe Yan Naing mengatakan kepada pengadilan bahwa polisi Brigadir Jenderal Tin Ko Ko memerintahkan seorang kopral tombak untuk mengatur pertemuan dengan Wa Lone malam itu dan menyerahkan dokumen-dokumen rahasia dari Batalyon 8 untuk menjebaknya.Dia bersaksi bahwa dia telah menyaksikan para perwira jenderal brigadir, "Jika Anda tidak mendapatkan Wa Lone, Anda akan masuk penjara."

Reuters tidak dapat menghubungi Tin Ko Ko untuk komentar. Seorang juru bicara polisi mengatakan setelah sidang hari Jumat, bahwa brigadir jenderal tidak memiliki alasan untuk melakukan hal semacam itu.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement