Rabu 02 May 2018 19:07 WIB

Cerita Pedih Perempuan Rohingya Korban Pemerkosaan Tentara

Perempuan Rohingya korban pemerkosaan diperkirakan melahirkan Mei ini.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Pengungsi Rohingya di kamp pengungsi Balikhali yang disiapkan khusus untuk janda dan anak yatim, Cox's Bazaar, Bangladesh.
Foto: Damir Sagolj/Reuters
Pengungsi Rohingya di kamp pengungsi Balikhali yang disiapkan khusus untuk janda dan anak yatim, Cox's Bazaar, Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, COX'S BAZAR -- Ketika ratusan ribu warga Rohingya membanjiri Bangladesh tahun lalu, mereka menceritakan tentang pemerkosaan dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh tentara dan milisi Myanmar. Mei ini tepat sembilan bulan sejak mereka mengalami kekerasan itu dan memulai eksodus.

Badan-badan bantuan kemanusiaan, terutama yang bekerja untuk perempuan dan anak-anak, tengah bersiap-siap di bulan ini. Para wanita Rohingya korban pemerkosaan diperkirakan akan memasuki masa melahirkan.

Badan bantuan kemanusiaan Save the Children mengatakan, jumlah bayi yang ditinggalkan oleh ibu mereka diperkirakan akan meningkat pada Mei ini. Sementara Mdecins Sans Frontires (MSF), yang mengelola rumah sakit di kamp-kamp pengungsian Cox's Bazar yang luas, sedang bersiap untuk mendampingi para ibu yang terkena dampak.

"Mereka mungkin merasa mereka tidak dapat merawat atau tidak siap merawat bayi baru mereka. Banyak dari mereka adalah wanita muda di bawah usia 18 tahun. Selain itu, bagaimana mereka akan dipandang dengan stigma negatif secara sosial, telah memicu stres," kata Melissa How, koordinator medis MSF.

Hal itu dialami oleh Ayesha Akhtar (34 tahun), seorang wanita Rohingya yang mengatakan tiga tentara Myanmar telah menerobos rumahnya di sebuah desa di selatan Kota Maungdaw. Para tentara itu mengancam akan menembak anak-anaknya dan kemudian memperkosanya.

Ibu lima anak yang suaminya telah meninggal pada 2012 itu mengatakan perbuatan kotor itu membuatnya sangat terguncang. Dia mencoba menyembunyikannya dari tetangganya, tetapi mereka dapat dengan cepat menebak.

"Semua orang tahu tentara melakukan pemerkosaan ketika mereka menyerang desa-desa," kata Ayesha kepada The Guardian di kamp pengungsian Balukhali.

Di Myanmar, sebagian besar warga Rohingya hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki akses ke layanan kesehatan, apalagi layanan aborsi. Ayesha mengaku dia membeli obat dari seorang dokter desa, tetapi tetap gagal menggugurkan kehamilannya.

Sebagai seorang janda, dia merasakan stigma negatif akan ia terima jika meminta bantuan penduduk desa lainnya. "Mencari bantuan untuk menggugurkan kehamilan sangat sulit bagi seorang janda di masyarakat kami. Saya berhenti mencari cara untuk mengugurkan kehamilan dan saya mulai memasrahkan segalanya kepada Allah," ujarnya,

Namun saat mengungsi ke Bangladesh ia kembali mencari bantuan untuk menggugurkan kandungan. Saat itu, semuanya telah terlambat karena hukum Bangladesh melarang aborsi setelah trimester pertama.

Dokter memperingatkan, prosedur ilegal dapat membahayakan hidupnya. "Saya punya anak-anak kecil lainnya di rumah. Saya memilih untuk tidak mengambil risiko," ungkapnya.

Tidak ada yang tahu berapa banyak wanita seperti Ayesha yang ada di kamp pengungsian. MSF mengatakan, mereka telah mencatat 224 korban kekerasan seksual hingga 25 Februari, tetapi diperkirakan masih ada lebih banyak lagi yang tidak tercatat.

Pada Januari lalu, banyak wanita Rohingya yang datang ke rumah sakit dengan pendarahan. Para bidan berspekulasi, banyak dari mereka yang mungkin telah mencoba menggugurkan kehamilan mereka sendiri.

Utusan khusus PBB untuk kekerasan seksual Pramila Patten menyimpulkan, militer Myanmar telah menggunakan pemerkosaan sebagai senjata untuk melakukan genosida. "Ini (pemerkosaan) telah menjadi alat teror yang ditujukan untuk memusnahkan Rohingya sebagai sebuah kelompok," kata Patten.

Survei yang dilakukan oleh Human Rights Watch pada November lalu memperkirakan dua pertiga dari wanita yang telah mengalami kekerasan seksual di Myanmar tidak melaporkannya kepada pihak berwenang atau kepada badan bantuan di Bangladesh.

Ko Ko Linn, aktivis Rohingya di Bangladesh, mengatakan anak-anak yang sudah lahir dalam keadaan tersebut tidak akan menghadapi stigma negatif.

"Mereka akan dilahirkan oleh seorang ibu Rohingya yang telah mengandung mereka hingga sembilan bulan, dengan segala macam rasa sakit yang dirasakan. Oleh karena itu, mereka adalah putra dan putri Rohingya," ujar Linn.

PBB dan sejumlah organisasi hak asasi manusia telah menuduh pasukan pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing melakukan pembunuhan, pemerkosaan, dan penjarahan terhadap warga Rohingya. Aksi itu dianggap sebagai bagian dari kampanye pembersihan etnis di Negara Bagian Rakhine.

Namun, kepala militer Tatmadaw itu menolak tuduhan bahwa pasukan yang ada di bawah komandonya telah melakukan serangan seksual terhadap wanita dan anak-anak Muslim Rohingya. Hal itu disampaikannya saat utusan Dewan Keamanan PBB melanjutnya misi penyelidikan mereka di Myanmar pada Selasa (1/5).

"Tatmadaw bertindak dan melakukan tugas mereka di bawah aturan hukum internasional. Tindakan akan diberikan terhadap pelanggar disiplin. Situasi ini terjadi di Rakhine utara karena aksi teror teroris Bengali yang ekstrem," kata Min Aung Hlaing melalui akun Facebook resminya.

Ia kemudian menyebut tuduhan kekerasan seksual itu sebagai tuduhan yang keji atas dasar budaya dan agama di Myanmar. "Tatmadaw sangat mengutuk para pelanggar dalam kasus-kasus ini. Tidak ada kekerasan seksual yang terjadi dalam sejarah Tatmadaw," ujarnya.

Hlaing berjanji akan memberikan tindakan keras jika ada kekerasan seksual. Sementara pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi telah menjanjikan penyelidikan jika ada bukti yang kredibel.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement