Jumat 11 May 2018 10:22 WIB

Kemenangan Mahathir dan Kekhawatiran Era Baru Malaysia

Kemenangan Mahathir dinilai kabar baik bagi pendukung demokrasi liberal.

Rep: Crystal Liestia Purnama/ Red: Nur Aini
 Aliansi partai oposisi yang dipimpin Mahathir Mohamad berhasil memenangkan pemilihan umum Malaysia, yang hasil resminya diumumkan pada Kamis (10/5).
Foto: AP/Andy Wong
Aliansi partai oposisi yang dipimpin Mahathir Mohamad berhasil memenangkan pemilihan umum Malaysia, yang hasil resminya diumumkan pada Kamis (10/5).

REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Untuk pertama kalinya pemilih Malaysia menggulingkan koalisi yang berkuasa sejak kemerdekaan negara itu dari Inggris. Namun, warga Malaysia mengaku masih khawatir dengan masa depan negaranya.

Perdana menteri baru, Mahathir Mohamad, bukanlah politikus radikal. Pria berusia 92 tahun itu telah memimpin Malaysia dari 1981 hingga 2003. Ia sering dituduh membatasi demokrasi Malaysia dan bergabung dengan koalisi oposisi, Pakatan Harapan, atau Alliance of Hope, tahun lalu. Para pendukungnya berharap pemerintahan Mahathir akan kurang otokratis daripada Najib dan kurang bergantung pada sektarian terhadap identitas Muslim Melayu.

"Saya sangat senang dengan hasil ini. Tapi saya juga agak takut," kata Shariza Binti Zolkeple, seorang perancang busana Muslim Malaysia berusia 25 tahun yang menunggu Mahathir untuk dilantik pada Kamis (10/5). "Setelah enam dekade dengan Barisan Nasional (Front Nasional) berkuasa, banyak orang akan tidak senang, dan kami tidak tahu apa yang akan terjadi."

Dilaporkan the Washington Post, seorang profesor ilmu politik dan spesialis isu Malaysia di John Cabot University, Italia, Bridget Welsh menilai hasil yang mengejutkan adalah kabar baik yang langka bagi pendukung demokrasi liberal di Asia Tenggara. Seperti diketahui di wilayah tersebut sebagian besar telah bergerak menuju otokrasi, kekerasan, dan fundamentalisme agama dalam beberapa tahun terakhir.

Di Filipina, Presiden Rodrigo Duterte telah mengawasi perang melawan narkoba yang telah mengambil ribuan nyawa, serta tindakan keras terhadap pers. Indonesia, negara terbesar di Asia Tenggara, dinilai pihak luar telah mengambil langkah-langkah menuju konservatisme Islam, dan Burma (juga dikenal sebagai Myanmar) telah menjadi tuan rumah bagi ledakan kekerasan anti-Muslim.

"Ini menunjukkan bahwa pendulum dapat berayun kembali dari otoritarianisme," kata Welsh. "Skandal korupsi dan kekayaan mewah Najib bertebaran di hadapan orang-orang biasa yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan dan tidak seperti dalam pemilihan terakhir, mereka punya tempat lain untuk bernaung, mantan perdana menteri yang sementara tidak kontroversial dikenal oleh publik."

Bahkan semua level permainan selama kampanye tidak dapat menghentikannya. "Semua kecurangan itu dikuasai oleh tsunami pemilih," ujarnya.

Sistem pemerintahan Malaysia adalah monarki konstitusional yang meniru sistem parlemen Inggris. Takhta dirotasi di antara sembilan keluarga kerajaan dari populasi etnis Melayu, yang secara konstitusional didefinisikan sebagai Muslim dan membentuk sekitar 60 persen dari negara tersebut.

Mahathir mengatakan dia tidak ingin memerintah lama. Ia mengaku akan bekerja untuk memaafkan mantan wakil Anwar Ibrahim, yang mengalahkan Najib dalam pemungutan suara populer pada 2013 tetapi gagal untuk memenangkan suara yang cukup dari posisi parlemen yang penting dalam sistem Malaysia. Anwar kemudian dipenjara dengan tuduhan sodomi yang dia sebut bermotif politik.

Aliansi Harapan memenangkan lebih dari 112 kursi yang diperlukan untuk membentuk mayoritas pada Rabu (10/5). Jika semua berjalan sesuai rencana, Anwar dapat mengambil alih kekuasaan dalam satu atau dua tahun dan menekankan keadilan sosial dan antikorupsi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement