Rabu 23 May 2018 11:34 WIB

Cina Penjarakan Aktivis Tibet karena Hasut Separatisme

Liang mengaku hanya berusaha melindungi hak warga Tibet, bukan suarakan kemerdekaan.

Rep: Marniati/ Red: Bilal Ramadhan
Aktivis sekaligus pengusaha Tibet, Liang Xiaojun
Foto: The Epoch Times
Aktivis sekaligus pengusaha Tibet, Liang Xiaojun

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Cina memenjarakan seorang pengusaha sekaligus aktivis Tibet selama lima tahun. Menurut pengacara tersangka, Liang Xiaojun, kliennya dituduh menghasut separatisme karena menganjurkan penggunaan bahasa Tibet di sekolah-sekolah.

Pengusaha yang bernama Tashi Wangchuk ini menyampaikan usulannya melalui media internasional, New York Times. Tashi muncul dalam sebuah video di New York Times pada Januari 2016.

Di video itu ia berbicara tentang usahanya untuk melindungi hak warga Tibet agar dapat menghadiri sekolah yang menggunakan bahasa ibu mereka. Dalam laporan itu, dia juga pergi ke Beijing untuk melakukan audiensi dengan pemerintah pusat. Namun, ia mengaku tidak menyerukan kemerdekaan Tibet.

Selama persidangan pada Januari di barat laut Cina Yushu di Provinsi Qinghai, laporan video Times dijadikan barang bukti tuduhan menghasut separatisme yang diajukan terhadap Tashi. Liang mengatakan di Twitter bahwa ia tidak dapat memberikan keterangan kepada media asing karena firma hukumnya diperiksa setiap tahun oleh otoritas hukum Cina. Namun, ia yakin bahwa Tashi tidak bersalah.

Pihak Pengadilan Menengah Umum Yushu mengaku tidak mengetahui kasus tersebut. Menanggapi hal ini, Departemen Luar Negeri AS mengaku sangat kecewa dengan putusan Pemerintah Cina.

Kemenlu AS mengatakan, Tashi hanya menjalankan kebebasan berekspresi fundamentalnya. Ia menyerukan kepada Pemerintah Cina untuk memberikan perhatian dan sumber daya yang lebih besar untuk mengajarkan bahasa Tibet di daerah Tibet.

"Kami mendesak otoritas Cina untuk segera membebaskan Tashi Wangchuk dan untuk melindungi identitas agama, budaya, dan bahasa yang berbeda dari orang Tibet," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Heather Nauert dalam sebuah pernyataan.

Cina menyatakan bahwa negranya melindungi hak-hak semua budaya etnis minoritas dan konstitusinya memberikan kebebasan kepada kelompok untuk menggunakan dan mengembangkan bahasa tertulis dan lisan mereka sendiri. Namun, kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan, dorongan pemerintah untuk memopulerkan bahasa Mandarin mengikis bahasa yang digunakan oleh minoritas seperti orang Tibet. Beijing dinilai memaksakan asimilasi budaya.

Direktur Riset Asia Timur di Amnesty International, Joshua Rosenzweig, mengatakan, putusan dan hukuman terhadap Tashi adalah ketidakadilan yang nyata. "Dia dihukum dengan kejam karena secara damai menarik perhatian pada sistematis budaya Tibet. Tuduhan menghasut separatisme tidak masuk akal," katanya dalam sebuah pernyataan.

Ada protes sporadis terhadap kekuasaan Cina di bagian Tibet Cina selama beberapa tahun terakhir, yang paling serius pada 2008 menjelang Olimpiade Musim Panas Beijing. Beijing menyebut pemimpin spiritual Tibet, Dalai Lama, seorang reaksioner berbahaya yang berusaha memisahkan hampir seperempat dari daratan Republik Rakyat Cina.

Dalai Lama yang melarikan diri ke pengasingan di India pada 1959 ini menyangkal tuduhan itu. Peraih Nobel Perdamaian 1989 tersebut mengaku hanya memperjuangkan hak yang lebih besar, termasuk kebebasan beragama dan otonomi, bagi warga Tibet.

Pasukan Cina memasuki Tibet yang sebagian besar beragama Buddha pada 1950. Beijing menyebut aksi itu sebagai pembebasan damai di Tibet. Beijing mengklaim aksinya membawa kemakmuran dan kebebasan untuk masyarakat terbelakang dan feodal, termasuk membebaskan 1 juta orang dari perbudakan.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement