Ahad 17 Jul 2016 12:30 WIB

Pengungsi di Yunani: Kami Hidup Bak di Penjara

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Ani Nursalikah
Lebih dariu 7.000 orang terjebak di kamp pengungsi di perbatasan Yunani-Makedonia dekat desa Yunani, Idomeni.
Foto: AFP Photo/Louisa Gouliamaki
Lebih dariu 7.000 orang terjebak di kamp pengungsi di perbatasan Yunani-Makedonia dekat desa Yunani, Idomeni.

REPUBLIKA.CO.ID, ATHENA -- Akram al-Majidi mengangkat lengan kirinya untuk menunjukkan kulit rusak akibat luka bakar parah yang dideritanya. Luka itu ia dapat setelah sebuah bom mobil meledak di luar toko di Baghdad 2008 lalu.

Akram (34 tahun) mengatakan hidupnya sederhana di Irak. Ia memiliki toko roti, mempersiapkan kue khusus untuk pernikahan, ulang tahun dan acara-acara lainnya.

"Saya kidal. Saya menulis, makan, membuat kue, semuanya dengan tangan kiri saya," ujar dia kepada Aljazirah di kamar kecil keluarganya di sebuah hotel bangkrut dan sepi. Hotel tersebut kini diubah menjadi kamp pengungsi bagi ratusan orang di pusat Yunani, Thermopylae.

Hotel Aigli dikelilingi oleh pegunungan yang luas, lokasi ini populer bagi orang-orang Yunani dan turis. Tapi kini resor sumber air panas tersebut mengalami kemunduran dan ditinggalkan.

Dua orang Jerman terlihat berenang di sungai di tepi lapangan hotel. Sepasang anak Suriah berenang di dekatnya, tertawa dan melompat ke dalam air dari atas tebing kecil.

Namun kembali di hotel, banyak warga mengeluhkan kondisi hidup miskin, kepadatan penduduk, makanan yang kurang mencukupi dan sedikit akses ke pelayanan kesehatan.

Dalam kunjungan terakhir ke dokter, Akram diberitahu untuk melanjutkan pengobatan medis ekstensif di lengannya. "Tapi sudah hampir dua bulan saya belum mendapat perlakuan apa pun," katanya.

Ia mengaku rasa sakit seringkali diderita, terutama pada malam hari. Namun dokter hanya memberinya obat penghilang rasa sakit.

Hal serupa dirasakan Abdeslam. Ia mengangkat topinya untuk menunjukkan benjolan bulat besar di bagian belakang kepalanya. Ia menjelaskan menderita sakit kepala kronis dan telah menunggu beberapa pekan untuk menerima perawatan medis. "Dokter hanya melihat saya selama beberapa menit dan mengatakan kepada saya untuk menggunakan Ibuprofen setiap beberapa jam. Kita hidup di penjara di sini karena tidak ada yang memiliki uang dan kota ini begitu jauh," tambahnya. "Jika Anda melewatkan waktu distribusi makanan, maka Anda tidak makan," kata Abdeslam.

Sebuah truk tentara Yunani berhenti dan membalik tanda distribusi akanan. Keluarga datang untuk menerima jatah mereka. Anak-anak tidak berhasil memohon tentara untuk meminta tambahan.

Taref Zeno yang merupakan seorang tukang listrik di Aleppo mengangkat kaleng kecil susu bubuk. "Ini sekiranya sampai tiga hari untuk seluruh keluarga saya. Kami pikir Eropa itu lebih manusiawi daripada ini. Turki membuatnya sangat mudah bagi kita untuk melarikan diri, tetapi kemudian mereka membuat kesepakatan yang memaksa kita terjebak di sini," katanya.

Mereka yang tiba di Yunani setelah kesepakatan Uni Eropa-Turki tersisa pilihan mengajukan permohonan suaka di Yunani atau deportasi sukarela ke Turki. Namun, sama seperti di kamp-kamp di seluruh negeri, warga frustrasi menunggu lama untuk mendaftar suaka sementara hidup dalam kondisi kemanusiaan yang sulit.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement