Kamis 24 May 2018 20:44 WIB

Rusia Tolak Kampanye Anti-Iran yang Digaungkan AS

Rusia nilai tuntutan AS untuk Iran tidak bisa diterima

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Bilal Ramadhan
Proyek reaktor nuklir Arak di Iran.
Foto: Reuters/ISNA/Hamid Forootan/Files
Proyek reaktor nuklir Arak di Iran.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Pemerintah Rusia menolak kampanye anti-Iran yang digaungkan Amerika Serikat (AS) usai hengkang dari kesepakatan nuklir atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Rusia menilai tuntutan AS yang diajukan ke Iran dalam rangka merevisi kesepakatan nuklir tidak dapat diterima.

(Baca: Menlu AS Optimistis Capai Kesepakatan dengan Eropa dan Iran)

"Sangat mengkhawatirkan bahwa kampanye anti-Iran mengumpulkan momentum di Washington seperti bola salju. Tampaknya AS akhirnya memilih kebijakan ultimatum dan ancaman terhadap Iran," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova, dikutip laman Asharq Al-Awsat pada Kamis (24/5).

"Ini tidak sesuai dengan semangat JCPOA pada program nuklir Iran dan melampaui kerangka hubungan antarnegara yang normal," ujar Zakharova menambahkan.

(Baca: Korut Serius Ancam Batalkan KTT dengan AS)

Kampanye anti-Iran akan menjadi salah satu topik yang dibahas Presiden Prancis Emmanuel Macron ketika bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin. Macron diketahui tengah mengunjungi Rusia untuk menghadiri acara St.Petersburg Economic Forum pada Kamis (24/5).

"(Putin dan Macron) berencana untuk membahas prospek mempertahankan JCPOA dalam mengatur program nuklir Iran setelah penarikan sepihak AS dari perjanjian tersebut," ungkap Penasihat Luar Negeri Putin, Yuri Ushakov.

Selain membahas kesepakatan nuklir, Macron dan Putin juga akan mendiskusikan beberapa isu lainnya, antara lain tentang krisis Suriah, krisis Ukraina, Libya, dan perdamaian di Timur Tengah. Pada 8 Mei lalu, Presiden AS Donald Trump memutuskan menarik negaranya dari kesepakatan nuklir Iran.

Trump menganggap kesepakatan tersebut cacat karena memberi ruang bagi Iran untuk mengembangkan rudal balistiknya. Dengan penarikan tersebut, AS memutuskan untuk kembali menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Iran.

Tak hanya itu, AS pun siap memberikan sanksi kepada negara atau perusahaan yang menjalin kerja sama bisnis dengan Teheran. Pada Senin (21/5), Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo telah mengajukan 12 tuntutan untuk memperbarui kesepakatan nuklir Iran.

Tuntutan tersebut antara lain meminta Iran menyerahkan laporan lengkap tentang program nuklirnya kepada Badan Energi Atom Internasional (IAEA), memberikan IAEA akses tanpa syarat ke seluruh situs nuklir Iran, mengakhiri proliferasi rudal balistik, menghentikan dukungan terhadap kelompok teroris di Timur Tengah. Termasuk Hizbullah, Hamas, dan Jihad Islam, serta menarik pasukannya dari seluruh Suriah.

Pompeo pun melayangkan ancaman akan menjatuhkan sanksi terberat dalam sejarah bila Iran mengabaikan tuntutan-tuntutan tersebut. "Sengatan sanksi hanya akan tumbuh lebih menyakitkan jika rezim (Iran) tak mengubah arah dari jalan yang tidak dapat diterima dan tidak produktif yang telah dipilihnya untuk dirinya sendiri dan rakyat Iran. Ini akan menjadi sanksi terkuat dalam sejarah pada saat kita selesai," katanya.

Presiden Iran Hassan Rouhani menyatakan negaranya tidak akan memenuhi tuntutan yang diajukan AS untuk merevisi kesepakatan nuklir. Menurutnya era AS membuat keputusan untuk seluruh dunia telah berakhir.

"Negara-negara merdeka. Kami akan melanjutkan jalan kami dengan dukungan bangsa kami. Siapa Anda (AS) mengambil keputusan untuk Iran dan dunia?," kata Rouhani.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement