Selasa 26 Apr 2011 20:12 WIB

Gawat! Puluhan Juta Warga Asia Terancam Jatuh Miskin

REPUBLIKA.CO.ID, MANILAI- Lonjakan harga pangan global mengancam mendorong puluhan juta orang Asia jatuh ke dalam kemiskinan ekstrim dan memangkas pertumbuhan ekonomi kawasan tahun ini, Bank Pembangunan Asia (ADB) memperingatkan dalam sebuah laporannya Selasa (26/4). Ditambah dengan meroketnya harga minyak, kenaikan itu menimbulkan kemunduran serius bagi negara berkembang di Asia setelah pulih dengan cepat dan kuat dari krisis ekonomi global 2008, kata kepala ekonom ADB, Rhee Changyong.

"Dibiarkan tidak terkendali, krisis pangan akan sangat merusak kenaikan baru-baru ini dalam penanggulangan kemiskinan yang dibuat di Asia," kata Rhee dalam sebuah pernyataan. Inflasi makanan domestik di negara berkembang di Asia mencapai 10 persen di awal tahun ini, dengan kenaikan dua digit pada harga gandum, jagung, gula, minyak nabati, produk susu dan daging, lembaga yang berbasis di Manila itu mengatakan.

Jika tingkat ini terus berlanjut, seperti yang mungkin, 64 juta orang di negara berkembang di Asia bisa didorong ke dalam kemiskinan yang ekstrim dan pertumbuhan ekonomi dapat berkurang hingga menjadi 1,5 persentase poin tahun ini, bank memperingatkan. Menurut ADB, Vietnam telah menjadi salah satu negara paling terpukul dalam hal inflasi beras, meskipun merupakan eksportir utama.

Pihaknya telah melihat harga eceran beras domestik melonjak 36,7 persen sejak Juni tahun lalu, sementara Indonesia dan Sri Lanka telah mengalami kenaikan sedikitnya sebesar 21 persen. China mencatat kenaikan harga beras 12,6 persen, mendekati rata-rata untuk negara berkembang di Asia.

Kenaikan harga gandum yang paling parah di Kyrgyzstan, dengan lompatan 67 persen sejak Juni tahun lalu, dan di Bangladesh melonjak 50 persen, menurut ADB. Harga gandum melonjak sekitar sepertiga di Sri Lanka, Mongolia dan Tajikistan. Lonjakan harga pangan akibat hilangnya produksi pertanian global yang dimulai pada semester kedua tahun lalu dengan cuaca ekstrim dan bencana alam di sabuk pertanian Asia, serta di Amerika Serikat dan Eropa, katanya.

Laporan itu memperingatkan faktor yang bermain selama krisis pangan 2007-2008 juga muncul sekarang. Ini termasuk meningkatnya permintaan untuk makanan dari negara-negara berkembang besar yang kaya, persaingan menggunakan makanan biji-bijian, penyusutan persediaan lahan pertanian dan hasil panen yang datar atau menurun.

Selain itu, Laporan itu juga memperingatkan harga beras mungkin akan terus meningkat setelah banjir, topan dan bencana lainnya di Asia akhir tahun lalu mengurangi hasil panen, mendorong konsumen untuk mencari pengganti yang lebih murah tapi kurang bergizi.

ADB mengatakan pemerintah di seluruh wilayah sudah bertindak untuk melunakkan dampak dari inflasi makanan, seperti dengan memotong pajak atas makanan, penetapan kontrol harga dan memperkenalkan subsidi. Tapi Rhee mengatakan lebih perlu dilakukan dan mendesak, pemerintah untuk menghindari godaan membatasi ekspor pangan mereka sendiri -- seperti China dan beberapa negara sudah dilakukan -- karena hal ini hanya akan memperburuk masalah.

"Untuk menghindari krisis ini menjulang, penting bagi negara-negara untuk menahan diri dari memaksakan larangan ekspor barang-barang makanan, sambil memperkuat jaring pengaman sosial," Rhee mengatakan. "Upaya untuk menstabilkan produksi pangan harus mengambil titik sentral, dengan investasi yang lebih besar dalam infrastruktur pertanian untuk meningkatkan produksi tanaman dan memperluas fasilitas penyimpanan, untuk menjamin hasil biji-bijian lebih baik, tidak sia-sia."

Pada catatan positif, bank mengatakan ada banyak ruang untuk meningkatkan produksi beras dan gandum, dengan 10 produsen beras utama dunia rata-rata hanya 4,074 ton per hektar (2,47 are) dibandingkan dengan kinerja teratas Mesir 9,883 ton. Namun, akan diperlukan waktu meningkatkan hasil sekalipun dengan investasi besar dalam penelitian dan pengembangan, tambahnya. Persediaan biji-bijian (cereal) global akan menyusut lebih lanjut kecuali produksi meningkat sedikitnya 2,0 persen tahun ini, kata laporan itu.

sumber : Antara/AFP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement