Rabu 04 May 2011 16:20 WIB

'Perang dengan Alqaidah Bukan Pertempuran Melawan Islam'

Umat Muslim tengah shalat berjamaah (Ilustrasi)
Umat Muslim tengah shalat berjamaah (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, ORLANDO - Ketika Amerika merayakan kematian sosok yang dianggap tokoh kriminal paling dicari di dunia, Presiden Barack Obama menyisipkan kalimat, menjernihkan kembali siapa sebenarnya yang diperangi AS. "Kita harus menyatakan kembali bahwa AS tidak, dan tidak akan pernah, berperang melawan Islam."

Meski Obama menegaskan itu banyak yang meragukan bila kematian Osama bin Laden akan membuat warga Amerika kembali memandang Islam dan penganutnya positif tanpa prasangka.

Seperti yang diungkapkan alumni dari Universitas Texas, Andwaar Huk, seperti yang dikutip ABC news, Rabu lalu. Alih-alih menyuarakan harapan, ia justru mengekspresikan sikap kehati-hatian terhadap kematian Osama. "Secara pribadi saya tidak berpikir perisitwa ini akan mengubah budaya perilaku rakyat Amerika kepada Muslim," ujarnya.

"Terlepas dari horor yang diciptakan olehnya (Osama) yang lebih penting adalah tidak sekedar membunuhnya, tetapi menghilangkan ideologi kebencian dan fanatisme berlebihan yang ia representasikan," ujarnya.

Tapi tak sedikit pula yang menyatakan optimisme. Mahasiswa pascasarjana Universitas Colombia, Haroon Moghul memandang kematian bin Laden merupakan berkah kembar dengan revolusi di Timur Tengah. Ia juga melihat revolusi damai di Tunisia dan Mesir sebagai gerakan moral pemicu kejatuhan AlQaidah dan pemimpinya, Osama.

"Bin Ladin sebenarnya telah mati di Lapangan Tahrir," ujar Moghul. "Kematiannya datang tepat di bawah tumit sikapnya yang tidak relevan terhadap dunia Muslim.

Suara positif juga muncul dari kalangan non-Muslim. Produser film dokumenter pemenang Emmy Award, Paul M. J. Suchecki, dalam opininya berjudul "Al-Qaida Is Not Islam: A Reminder for Religious Tolerance" (Alqaidah bukan Islam: Sebuah Pengingat bagi Tolerans Beragama) menulis sangat heran, di tengah komunitas majemuk ala AS, masih ada orang-orang yang bersikap keras dan jahat terhadap Islam.

"Tidak terlalu lama, seorang kawan pelaut saya mengatakan ia menganggap Muslim sebagai 'penyembah kejahatan'.

Paul mengaku memiliki teman-teman Muslim yang ia karibi bertahun-tahun, dari Iran, Pakistan dan warga AS sendiri. "Mereka merentang, mulai dari sekuler, agamis, peminum dan taat beribadah," tuturnya.

Meski bukan Muslim, Paul tak menyembunyikan rasa kagum terhadap Al Qur'an. Ia memiliki satu kitab terjemahan yang ia peroleh dari mantan mahasiswanya dari Iran, sebuah jilid yang ia nilai sangat indah berwarna hijau dengan huruf-huruf ditulis dalam tinta emas, dalam bahasa Arab dan Inggris.

Kalimat pembuka yang membuat ia teringat ialah bacaan basmallah, "Dengan Nama Allah Yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih. Ia memelajari bagaimana ayat-ayat di dalamnya bertutur tentang penciptaan manusia oleh Tuhan, bagaimana Tuhan memberi 'pengetahuan' dan 'pemahaman spiritual".

"Ini bukanlah seruang terhadap intoleransi. Namun teks-teks inilah yang dibakar oleh pastor fundamentalis asal Florida, Terry Jones." ujarnya. Ia memandang itu sebuah penghinaan kepada siapa pun yang meyakini keberadaan Tuhan.

Masih dalam opininya ia mengingatkan warga Amerika. "Kali lain anda melintas Masjid Raja Fahad yang indah di Boulervard Washington, ingatlah di sana ada kawan kita, sesama penduduk Los Angeles yang berdoa kepada tuhannya dalam cara-cara mereka sendiri yang dilindungi undang-undang,"

Sebagai penutup ia menulis. "Memang benar Pak Presiden, perang ini tidaklah pernah melawan Islam. Terimakasih telah mengingatkan kami."

sumber : ABC News/Venice Patch
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement