Jumat 10 Jun 2011 14:32 WIB

Merasa Terancam, Revolusi Arab Mengetuk Pintu Israel

Warga Palestina
Foto: AP
Warga Palestina

REPUBLIKA.CO.ID,5 Juni di Dataran Tinggi Golan yang diduduki oleh Israel. Dari Suriah datang rombongan massa. Mereka melambaikan bendera Palestina dan terus mencoba menerobos penghalang. Angkatan bersenjata Israel pada awalnya hanya menyemburkan gas air mata dan menembakkan peluru karet. Tapi kemudian mereka beralih ke peluru tajam. Lebih dari 20 orang dikatakan tewas hari itu.

Dituduh Akibat Provokasi

Juru bicara pemerintah Israel Mark Regev tidak menyembunyikan kemarahannya saat diwawancara stasiun televisi Al Jazeera, "Tentu saja ini provokasi. Saya sejujurnya tidak tahu bagaimana cara menyebutnya secara lain. Mereka mengatakan, kami tidak seharusnya ada di sini. Mereka boleh punya pendapat politis, tetapi mereka tidak punya hak menyerang penjaga perbatasan kami dengan kekerasan dan memaksa masuk negara kami. Apakah negara lain akan menerimanya?"

Aksi protes di Dataran Tinggi Golan dipicu gerakan kebangkitan yang tengah terjadi di dunia Arab. Di Tunisia, Mesir, Yaman, Suriah, Bahrain dan Libya, warga menuntut keterlibatan dalam masalah politik, keadilan sosial, kebebasan dan martabat.

Tuntutan ini juga diajukan warga Palestina. Harian Haaretz yang terbit di Tel Aviv menulis 'Revolusi Arab mengetuk pintu Israel'. Tetapi revolusi Arab sepertinya membuat Israel merasa terancam. Mereka khawatir akan kebangkitan kelompok ekstrimis dan Ikhwanul Muslimin.

Membahayakan Perjanjian Perdamaian

Hingga akhir, pemerintah Yerusalem memihak Husni Mubarak. Mantan presiden Mesir ini dianggap Israel sebagai penjaga perjanjian perdamaian antara kedua negara ini dan jaminan stabilitas di wilayah selatan. Di utara, mereka bergantung pada kepala negara Suriah Bashar al Assad.

Sebagai penerus ayahnya Hafez al Assad, ia bertahan dengan status quo dan memastikan agar gencatan senjata di dataran tinggi Golan tetap menjadi perbatasan yang tenang. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, ketenangan ini terganggu demonstrasi.

Namun, menurut Eli Podeh, pakar Timur Tengah di Universitas Tel Aviv, demonstrasi dilakukan dengan persetujuan pemerintah di Damaskus. "Ada keinginan dari pemerintah Suriah untuk memanaskan suasana. Tidak diragukan, bahwa revolusi di dunia Arab menggerakkan demonstrasi massal. Tetapi dalam kasus ini, masalahnya adalah, pemerintah Suriah ingin mengalihkan perhatian tentang apa yang terjadi di daerah lain Suriah."

Tinggal Tunggu Waktu?

Tetapi, demonstrasi massal yang menjatuhkan diktator di Tunisia dan Mesir, menggoyang rezim di Suriah dan Yaman, belum sampai ke Ramallah dan Gaza. Di kota-kota Palestina hingga kini hanya ada demo kecil-kecilan yang bisa langsung dihentikan. Kini jalanan Palestina masih tenang.

Tetapi menurut Podeh ini masih bisa berubah. "Kita harus memikirkan, bahwa di sana keinginan akan perubahan bukan ditujukan terhadap kekuasaan Mahmud Abbas atau Hamas, melainkan terhadap pendudukan. Jika ini terjadi, warga Palestina akan mengerahkan massa. Di Arab, demonstrasi massa adalah hasil dari frustasi dan kekecewaan terhadap rezim. Namun, warga Palestina kecewa terhadap pendudukan Israel. Ini yang harus membuat mereka turun ke jalan."

Para pakar menyarankan agar Israel melakukan proses politik yang bisa disambut warga Palestina dan mencegah intifada yang ke-tiga.

sumber : dw-world
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement