Sabtu 01 Sep 2012 08:04 WIB

Jarang Bayi Lahir, Singapura Segera 'Bangkrut'?

Singapura
Foto: Heri Ruslan/RepublikaOnline
Singapura

REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah Singapura terus mencemaskan minimnya kelahiran bayi di negara mungil itu. Mereka menyadari kekhawatiran akan lapangan pekerjaan, standar hidup dan kohesi sosial, dan telah memberlakukan pengawasan ketat terhadap jumlah orang asing yang boleh masuk, terutama pekerja tidak terampil dan berupah rendah.

Pada Juli, pemerintah menerbitkan makalah untuk masukan publik mengenai cara mendorong warga Singapura untuk menikah dan berkeluarga sebagai bagian dari evaluasi kebijakan kependudukan dan imigrasinya.

Makalah berjudul “Populasi Kita Masa Depan Kita” menunjukkan skenario muram mengenai masyarakat yang menua jika kecenderungan kelahiran terus berlangsung, termasuk ekonomi yang kurang dinamis, eksodus perusahaan besar dan berkurangnya jumlah pekerja dan konsumen.

Untuk mendorong orang berkeluarga, pemerintah memberikan bonus sampai 4.000 dolar Singapura atau 3.200 dolar AS untuk masing-masing anak pertama dan kedua, dan 6.000 dolar Singapura untuk anak ketiga dan anak keempat. Jumlah tersebut juga ditambahkan pada Akun Perkembangan Anak.

Jaringan Perkembangan Sosial, bagian dari lembaga pemerintah, menawarkan nasihat asmara gratis oleh “Dr. Cinta” dan mengawasi aktivitas agen perjodohan swasta.

Untuk membalikkan tren, Lee mengatakan pada pidatonya yang diperlukan perubahan perilaku sosial dan tempat kerja, serta dukungan lebih bagi keluarga dalam bentuk perumahan dan penitipan anak yang murah dan mudah.

Jika perempuan memiliki paling tidak dua anak, itu berarti kenaikan jumlah penduduk. Namun dengan tingkat kesuburan hanya 0,78, menurut CIA, jumlah penduduk Singapura akan menurun.

Pemerintah Singapura memiliki data yang berbeda yang menunjukkan bahwa rata-rata perempuan memiliki 1,2 bayi dalam hidupnya, turun dari 1,87 pada 1990 dan 1,42 pada 2001 dan jauh di bawah angka pergantian penduduk.

Negara kota tersebut tidak sendiri. Hong Kong, Taiwan dan Korea Selatan juga memiliki angka kesuburan yang rendah dan masalah tekanan karir, biaya dan tempat tinggal yang sama.

Di antara negara tetangga di Asia Tenggara, angka kesuburan di Thailand pada 1,66 adalah di bawah tingkat pergantian, namun jumlah penduduk naik di Indonesia (2,23), Malaysia (2,64) dan Filipina (3,15).

Lee Kuan Yew, bapak pendiri bangsa dan ayah perdana menteri saat ini, mengingatkan pada Agustus bahwa Singapura akan “gulung tikar” jika tidak dapat mengatasi persoalan kelahiran.

“Apakah kita mau menggantikan diri kita atau memilih menyusut dan menua serta digantikan oleh kaum migran dan pemegang izin kerja?” ujar Lee, yang meluncurkan kampanye “Stop pada dua anak” pada 1966.

Beberapa pihak berharap pada ledakan kelahiran yang berkaitan dengan shio. Angka kelahiran meningkat pada tahun-tahun Naga sebelumnya yaitu 1976, 1988 dan 2000, namun itu hanyalah kenaikan minor di antara penurunan angka kelahiran yang stabil dari 3,07 pada 1970.

Pemerintah menjanjikan langkah-langkah baru untuk mendorong kelahiran dan membantu keluarga. Namun kecuali tekanan karir dan biaya berubah secara dramatis, dampaknya akan kecil.

“Dapatkan warga Singapura dibujuk untuk memiliki lebih banyak anak?” merupakan pertanyaan pada survei dalam satu diskusi panel mengenai angka kelahiran di televisi baru-baru ini. Jajak pendapat lewat telepon yang diadakan oleh Channel News Asia tersebut mungkin tidak sepenuhnya ilmiah, namun jawabannya jelas – 74 persen responden mengatakan “tidak.”

sumber : voaindonesia
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement