Jumat 23 Nov 2012 09:08 WIB

Penduduk California Tolak Pangan Genetik di AS

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Fernan Rahadi
Makanan rekayasa genetik
Foto: globalhealingcenter.com
Makanan rekayasa genetik

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Untuk menjamin keamanan pangan, manusia membutuhkan bioteknologi. Namun, siapa yang diuntungkan dari bioteknologi melalui produksi pangan hasil rekayasa genetika (RG) tersebut? rakyat yang kelaparan, dunia, atau perusahaan agribisnis global?

Dosen senior bidang riset lingkungan dari Fitzwilliam College, London, Bhaskar Vira, memaparkan di sela-sela pemilihan presiden Amerika Serikat (AS), pemungutan suara di California berdebat tentang tantangan presiden AS dalam misi keamanan pangan global. Hasilnya sangat tipis.

"Sebanyak 52,8 persen penduduk California menentang penjualan makanan hasil RG," kata Vira, dikutip dari The Guardian, Jumat (23/11).

Penerapan pangan RG hanya akan memperbanyak birokrasi dan akhirnya mengikat kaum petani dalam usaha pertanian yang berlitigasi mahal. Petani akan semakin tertindas karena masalah hak paten.

Sisanya, 47,2 persen penduduk California mendukung penjualan makanan hasil RG. Syaratnya perusahaan wajib memberi label khusus yang menandakan satu jenis makanan merupakan hasil RG.

Rakyat California menegaskan mereka berhak mengetahui persis apa yang mereka makan. Pelabelan makanan adalah cara tepat yang memungkinkan konsumen mampu membuat pilihan tepat pada makanannya.

Dosen senior Departemen Geografi, University of Cambridge, David Nally, menambahkan Amerika masih mengalami kontroversi tentang penggunaan teknologi genetika dalam industri makanan. Rakyat khawatir tentang keamanan hayati.

Pengembangan, penyebaran, dan pengendalian bioteknologi pertanian di AS cenderung hanya menghasilkan dua kubu, pemenang dan pecundang. Dalam hal ini, petani adalah pecundang, dan korporasi besar menjadi pemenang.

"RG tak mengenal hal netral dalam teknologi. Sebab, perusahaan-perusahaan besar mematenkan pendistribusian pangan RG miliknya," kata Nally. Pemerintah Zambia misalnya, negara tersebut menolak bantuan pangan dari AS. Padahal, Zambia pernah mengalami kelaparan hebat pada 2002.

Pemerintah Zambia menolak karena jagung dan kedelai yang disumbangkan AS itu sebagian besarnya tumbuh dari hasil RG. Mereka khawatir akan keselamatan dan konsekuensi jangka panjang jika strain RG jagung dan kedelai itu memasuki sistem pangan Zambia. Ekspor pangan mereka ke pasar Eropa, ke depannya, akan lebih waspada.

Nally menilai ekonomi politik dari penggunaan bioteknologi RG harus menggunakan perkembangan teknologi ini dengan cara yang benar-benar memberikan solusi untuk keamanan pangan global. Artinya, cara itu bisa ditrima secara sosial dan lebih aman bagi kesejahteraan manusia dan lingkungan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement