Senin 03 Nov 2014 11:17 WIB

Arsitektur Baru Kebijakan Energi (2)

Rep: Elba Damhuri/ Red: Mansyur Faqih
Pekerja sedang berada di kilang minyak
Foto: ap
Pekerja sedang berada di kilang minyak

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Iran kurang lebih melakukan hal yang sama. Keseimbangan fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih produktif mendorong Iran mencabut subsidi BBM secara bertahap. 

Peningkatan produksi dan pengurangan subsidi BBM menjadi prioritas Iran. Seperti kata mantan presiden, Mahmud Ahmadinejad, Iran tidak ingin menjadi saksi hidup habisnya era keemasan minyak ketika energi fosil itu masih berlimpah.

Satu hal yang tidak dilepaskan Iran dan Meksiko, mereka tidak memperlemah peran perusahaan energi milik negara. Pemex dan National Iranian Oil Company (NIOC) diberikan peran besar untuk meningkatkan peran dan produktivitas mereka demi tujuan kesejahteraan rakyat. 

"Pasar migas memang kita buka, tetapi penguatan  perusahaan minyak negara makin kita perkuat agar mereka tetap dominan," kata Presiden Nieto.

Forum Ekonomi Dunia memberikan perhatian besar atas masalah energi global. WEF mengajukan satu kerangka arsitektur baru energi global yang dirangkai dalam kesatuan segitiga energi. 

Kepala Energy Industries Forum Ekonomi Dunia, Roberto Bocca mengatakan, arsitektur energi diartikan sebagai sistem fisik yang terintegrasi di antara sumber dan sistem pendistribusian energi, hingga permintaan pasar. Pemain utama dalam arsitektur baru ini adalah pemerintah, produsen dan industri, dan masyarakat.

Tujuan segitiga energi ini, menurut Bocca, untuk mewujudkan tercapainya aristektur energi yang memiliki tiga sisi. Pertama, memajukan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. 

Pada tahap ini, sektor energi harus memberikan andil dalam mengangkat produktivitas masyarakat. Dengan begitu, pendapatan rakyat pun terangkat yang berkolerasi dengan tingkat kesejahteraan mereka.

Bocca menjelaskan, harga energi pun termasuk minyak harus menjadi perhatian utama pada fase ini. Ekonomi yang produktif dan tumbuh berkualitas tidak bisa dilakukan jika postur anggaran nasional masih tidak sehat. 

Selama fiskal negara masih tidak seimbang, di mana terlalu banyak pengeluaran untuk hal-hal tidak produktif, sulit mengangkat perekonomian ke arah yang lebih baik.

Secara teknis, harga bahan bakar di satu negara harus sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan. WEF menegaskan kebijakan ini dijalankan agar pasar tidak terdistorsi subsidi yang besar.

Produser minyak pun, menurut WEF, bisa lebih produktif dengan menanamkan modalnya lebih luas dan membantu sektor lain bergerak lebih baik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement