Selasa 27 Jan 2015 14:38 WIB

Jumlah Warga Asing yang Membantu ISIS Dilaporkan Melonjak

Rep: C84/ Red: Yudha Manggala P Putra
Kelompok bersenjata ISIS.
Foto: AP
Kelompok bersenjata ISIS.

REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Pusat Internasional untuk Studi Radikalisasi dan Kekerasan Politik (ICSR) melaporkan bahwa jumlah petempur asing yang telah melakukan perjalanan ke Suriah dan Irak diperkirakan mencapai angka 20.730 yang menjadikannya sebagai mobilisasi pejuang asing terbesar di negara-negara mayoritas Muslim sejak 1945.

ICSR merupakan lembaga merupakan mega proyek dari kerjasama London’s King’s College, the Jordan Institute of Diplomacy, the University of Pennsylvania, Georgetown University dan the Interdisciplinary Center di Israel. Organisasi tersebut menyatakan bahwa jumlah warga asing itu terlibat langsung dengan ISIS atau Jabhat al-Nusra, cabang Alqaidah, sebagaimana diberitakan WorldNetDaily, Selasa (27/1).

Organisasi itu mengatakan angka-angka tersebut dicapai setelah berkonsultasi dengan Konferensi Keamanan Munich. Para warga asing yang bergabung dikatakan berasal dari 50 negara yang berbeda, termasuk sekitar empat ribu orang datang dari 12 negara di Eropa Barat.

"Ini hampir dua kali lipat dari angka disajikan pada Desember 2013, dan melebihi perkiraan terbaru oleh para pejabat Uni Eropa," kata laporan tersebut.

Dalam laporannya itu, sekitar 1.200 militan datang dari Prancis. sedangkan Inggris dan Jerman mengirimkan sekitar 500-600 orang.

"Dengan sampai 11.000, Timur Tengah tetap menjadi sumber dominan militan asing dalam konflik. Sedangkan tiga ribu berasal dari negara-negara bekas Uni Soviet," sambungnya.

Jumlah orang asing yang ikut berjuang dalam bentrokan politik dan agama regional saat ini melampaui konflik Afghanistan pada 1980-an, yang diduga telah menarik hingga 20 ribu orang asing.

Dari seluruh dunia, Tunisia menjadi negara terbanyak dengan tiga ribu warganya pergi ke Irak dan Suriah, disusul Arab Saudi dengan 2.500. Sedangkan, Yordania, Rusia dan Maroko masing-masing berjumlah 1.500 orang.

"Kami memperkirakan bahwa antara 5-10 persen dari petempur asing telah meninggal, dan 10-30 persen telah meninggalkan zona konflik, kembali ke rumah atau terjebak di negara-negara lain," kata laporan itu.

"Akibatnya, jumlah petempur asing yang saat ini ada di tanah di Suriah dan Irak kemungkinan akan berkurang dari angka yang diberikan," katanya.

Menurut sebuah laporan di Vox.com, Direktur ICSR Peter Neumann mengatakan para petempur  asing yang telah bergabung ISIS atau Alqaidah telah didoktrin dengan sejumlah ideologi dan dan melihat diri mereka lebih kurang sebagai pejuang.

Vox melaporkan, secara garis besar, banyaknya para pejuang asing semacam ini akan menimbulkan dua macam ancaman. Pertama, mereka akan kembali ke negara asal mereka terutama di Timur Tengah, di Eropa Barat dan Uni Soviet, yang dapat melakukan serangan teroris sewaktu-waktu di negaranya masing-masing.

Kedua, mereka bisa bepergian ke sejumlah wilayah perang di tempat lain.Salah satu lokasi tersebut adalah Tunisia mengingat umur demokrasi di negara tersebut masih bisa dikatakan sangat muda.

"Dalam jangka panjang, [Tunisia] menghadapi tantangan besar dari orang-orang yang kembali dari Suriah dan Irak." Tidak hanya di negara-negara Timur Tengah dan Eropa, di AS sendiri pihak berwenang telah menangkap seorang perempuan berusia 19 tahun dari daerah Denver hendak berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Perempuan itu dijatuhi hukuman empat tahun penjara oleh kepolisian AS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement