Jumat 29 May 2015 12:37 WIB

AS: Perlu Penyelamatan Mendesak Terhadap Migran

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Ilham
Jenis perahu yang biasa digunakan para pencar suaka dan imigran gelap ke Australia
Foto: ABC News
Jenis perahu yang biasa digunakan para pencar suaka dan imigran gelap ke Australia

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Ribuan migran di Asia Tenggara dalam kondisi rentan dan perlu mendapat penyelamatan mendesak. Untuk itu, banyak negara berkumpul di Bangkok guna memmbahas krisis tersebut.

Setidaknya, lebih dari tiga ribu migran dari Bangladesh dan Myanmar telah menepi di Indonesia dan Malaysia sejak Thailand melakukan tindakan keras terhadap kelompok perdagangan manusia. Sekitar 2.600 migran diyakini masih berada di kapal dan terombang-ambing di lautan.

"Kita harus menyelamatkan nyawa, ini mendesak," kata Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Anne Richard dalam perjalanan menuju pertemuan di sebuah hotel di Bangkok.

Pertemuan ini menyatukan 17 negara dari seluruh Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan negara lain di Asia bersama dengan AS, Swiss dan organisasi internasional seperti UNHCR dan badan pengungsi PBB.

Menteri Luar Negeri Thailand, Jenderal Tanasak Patimapragorn mengatakan, kini perlu dilakukan hal yang lebih dibanding sebelumnya dalam menangani kasus migran. Salah satu caranya adalah meningkatkan upaya bersama oleh semua negara yang bersangkutan.

"Ini memerlukan Thailand dan kerjasama internasional untuk memcahkan masalah secara komprehensif," ujarnya dalam pembukaan pertemuan tersebut, Jumat (29/5).

Dalam kesempatan tersebut, ia mengatakan bila pertemuan ini memiliki tiga tujuan, yakni memberikan bantuan kemanusiaan, memerangi masalah jangka panjang dari penyelundupan manusia, dan mengatasi akar penyebab masalah yang ada.

Pertemuan khusus tentang Migrasi di Samudera Hindia ini dilatarbelakangi hal suram dengan ditemukannya hampir 140 kuburan di 28 kamp perdagangan manusia di Malaysia. Sebelumnya, pemerintah Thailand menemukan 36 jasad di kamp yang ditinggalkan dekat perbatasan Malaysia. Jasad tersebut diduga tewas karena tindakan kekerasan.

Sayangnya, beberapa peserta pesimis bila pertemuan itu tidak menghasilkan kesepakatan atau rencana aksi yang mengikat. Banyak peserta yang tidak mengirimkan wakilnya di tingkat kementerian.

Menurut Kementerian Luar Negeri Thailand, setidaknya tiga negara pusat krisis tidak mengirimkan menterinya, seperti Myanmar, Indonesia, dan Malaysia.

Myanmar, negara asal banyaknya migran mengatakan, tidak memiliki rencana untuk mencapai kesepakatan di Bangkok. "Kami ada hanya untuk membahas krisis regional yang dihadapi semua negara ASEAN," kata delegasinya, Direktur Jenderal Luar Negeri Jenderal Htein Lin.

Krisis migran ini meletus pada awal bulan saat Thailand melakukan tindakan keras kepada kelompok penyelundup migran di sepanjang perbatasan Malaysia. Hal ini membuat pedagang tersebut merasa tidak aman dan beresiko untuk mendaratkan migran. Hal ini mendorong ribuan migran ke perahu dan berlayar di laut dengan perlengkapan seadanya.

Menanggapi hal tersebut, AS telah meminta Thailand untuk melakukan pengawasan udara untuk mengidentifikasi kapal yang diduga membawa migran seperti yang telah dilakukan AS dan Malaysia. Namun, belum mendapat anggukan dari Pemerintah Thailand terkait permintaan tersebut.

AS dan PBB mengatakan, pola mematikan migrasi di Teluk Benggala akan terus terjadi kecuali Myanmar menghentikan diskriminasi terhadap Rohingya.

Seperti diketahui, Myanmar tidak menganggap Rohingya sebagai bagian dari negaranya sehinga ribuan dari mereka tidak memiliki kewarganegaraan dan kerap mendapat penganiayaan. Namun, pemerintah menyangkal bila mendiskriminasikan mereka dan menyangkal bila kepergian mereka dari Myanmar karena adanya penganiayaan.

Myanmar tidak menyebut kelompok minoritas tersebut sebagai Rohingya melainkan Bengali. Hal itu menunjukkan bila mereka berasal dari Bangladesh.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement