Selasa 01 Sep 2015 14:04 WIB

Kelompok Budha Anti-Muslim Myanmar Semakin Kuat

Rep: Gita Amanda/ Red: Ilham
Biksu Ashin Wirathu.
Foto: Taringa.net
Biksu Ashin Wirathu.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Kelompok Buddha radikal yang dikenal sebagai Ma Ba Tha semakin memperkuat pengaruhnya, menjelang pemilihan umum November mendatang. Ma Ba Tha sedang berupaya untuk terus bergerak menuju arus utama politik Myanmar.

Komitenya telah mengajukan Rancangan Undang-undang Perlindungan Ras dan Agama, yang akhirnya disahkan oleh parlemen dan pemerintah. Selama ini, kritikus mengatakan, keempat undang-undang tersebut secara efektif melegalkan diskriminasi terhadap perempuan dan minoritas Muslim di negara itu.

Kelompok Buddha radikal ini bahkan telah memiliki program reguler di salah satu televisi satelit paling populer di Myanmar. Mereka meluncurkan majalah demi mendongkrak citra di mata publik, menjelang pemilihan bebas pertama di Myanmar dalam 25 terakhir.

"Harus ada anggota parlemen di parlemen yang handal untuk negara ini. Mungkin akan ada beberapa orang, terutama Umat Islam, yang berupaya melemahkan agama Buddha, sehingga perlu orang kuat untuk agama kita," kata Pemimpin Ma Ba Tha, Ashin Tilawkar Biwonsa dalam sebuah wawancara.

Didirikan dua tahun lalu, Ma Ba Tha berangkat dari kelompok gerakan 969. Kelompok tersebut berisi biarawan yang terkait dengan gelombang kekerasan terhadap minoritas Muslim di negara itu pada tahun 2012 dan 2013.

Senior pejabat Ma Ba Tha mengatakan, gerakan 969 telah mengangkat kesadaran mengenai ancaman terhadap agama Buddha akibat berkembangnnya populasi Muslim. Namun kala itu kelompok 969 tak terorganisir dan tak memiliki kepemimpinan. "Itu (fokus pada) hanya simbol agama Buddha," kata Ashin Tilawkar Biwonsa.

Kini menurutnya, semakin banyak profesional yang menawarkan keahlian mereka untuk membantu, mulai dari hubungan dengan media hingga undang-undang. Menjadikan Ma Ba Tha, kata dia, organisasi yang apik dengan dukungan rakyat dan pengaruh politik yang nyata.

Salah satu pakar kelompok itu adalah Aye Paing. Ia dan tim pengacara Ma Ba Tha menyusun RUU Perlindungan Ras dan Agama tersebut. Undang-undang itu ditandatangani oleh Presiden Thein Sein pada Senin (31/8), lalu.

Aye Paing mengatakan, kini pengacara, ahli IT, dan profesional lain telah membuat Ma Ba Tha menjadi sangat efisien, sistematis, dan legal. "Kami membahas, memberikan saran dan berbagi visi kami," ungkapnya.

Tanda lain perkembangan Ma Ba Tha juga tampak dari sejumlah diplomat asing yang secara rutin mengunjungi markas kelompok biara itu. Salah satunya, Duta Besar Amerika Serikat Derek Mithcell yang ke markas Ma Ba Tha dua kali pada Mei lalu. Mitchell mengklaim kunjungannya untuk meningkatkan dialog antaragama.

Biarawan sangat dihormati dan berpengaruh di Myanmar. Ini menyebabkan banyak protes pro-demokrasi selama hampir setengah abad kekuasaan militer di negara mayoritas Buddha tersebut. Tapi setelah itu, pemerintah reformis mengambil alih kekuasaan pada tahun 2011, beberapa biarawan vokal mengaku Islam melemahkannya negara.

Sekarang, Ashin Tilawkar Biwonsa mengatakan, Ma Ba Tha memiliki 250 kantor nasional. Dia tidak bisa memperkirakan berapa banyak pendukungnya, tetapi pada bulan Juni lebih dari 1.500 orang menghadiri konferensi tahunan kelompok Ma Ba Tha di Yangon.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement