Selasa 06 Oct 2015 08:01 WIB

Warga Guatemala Mengaku tak Ada Peringatan dari Pemerintah

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Ani Nursalikah
Pemadam kebakaran dan petugas penyelamat mengevakuasi jenazah dari lokasi longsor di Cambray, Santa Catarina Pinula di pinggiran Guatemala City, Sabtu (3/10).
Foto: AP Photo/Luis Soto
Pemadam kebakaran dan petugas penyelamat mengevakuasi jenazah dari lokasi longsor di Cambray, Santa Catarina Pinula di pinggiran Guatemala City, Sabtu (3/10).

REPUBLIKA.CO.ID, SANTA CATARINA PINULA -- Pekerja darurat menghabiskan hari keempat menggali tanah untuk mencari korban tanah longsor, Senin (5/10). Korban tewas bencana tersebut telah meningkat menjadi 144 orang.

Kini pertanyaan muncul, mengapa masyarakat diizinkan membangun rumah di dasar bukit berbahaya di sebelah sungai kecil.

Alat berat terus menyingkirkan ribuan ton kotoran lumpur dan tanah di pinggiran Guatemala City meski hampir tidak ada harapan unuk menemukan korban yang hidup. Koordinator layanan darurat Sergio Cabanas mengatakan, lima jenazah telah ditemukan. Sehingga jumlah korban tewas mencapai 144 sementara 300-an orang masih dinyatakan hilang.

Komisi Penanggulangan Bencana Guatemala atau Conred mengatakan telah memperingatkan tentang risiko terhadap lingkungan Cambray sejak tahun lalu. Mereka juga merekomendasikan para warga untuk relokasi.

Namun sekarang daerah Cambray telah dihuni dan banyak warga yang kini tinggal di penampungan.

Direktur Komisi Alejandro Maldonado mengaku telah memperingatkan Wali Kota Santa Catarina Pinnula, Tono Coro sungai itu menggerogoti dasar bukit curam. Saat ini Maldonado sedang menunggu laporan dari pemerintah setempat terkait apa yang telah mereka lakukan dalam menanggapi peringatan.

Ia mengakui banyak lingkungan seperti Cambray dan sekitar Guatemala City yang berisiko banjir atau tanah logsor. "Apa yang terjadi di Cambray hanya kasus tragis yang bisa berpotensi terjadi di seluruh kota," ujarnya.

Pada Senin (5/10), sebanyak 187 orang menunggu di dalam Salon Municipal, auditorium kota yang biasanya digunakan untuk acara dan pesta. Keluarga pengungsi bisa mendapatkan makanan, layanan medis, kegiatan untuk anak-anak dan layanan psikologis.

Tapi belum ada yang bicara tentang relokasi atau kompensasi atas kehilangan rumah mereka. Kebanyakan mereka adalah pemilik rumah dan mengaku membangun rumah dengan semua izin yang tepat juga tanpa penringatan bahaya longsor. Mereka lebih terfokus pada sungai yang kadang-kadang meluap.

Salah satu pengungsi, Sonia Hernandez (26 tahun) mengatakan ia dan keluarganya tidak pernah diperingatkan adanya bahaya. Ia mengatakan, orang tuanya telah memiliki rumah mereka di sana selama 20 tahun.

"Jika kita telah diperingtkan bahaya, kami tidak pernah akan membeli yang praktis menjadi makam kami sendiri," ujarnya.

Hal serupa diakui Clara Elena Solorzano (40 tahun) yang telah hidup di lingkungan itu selama 17 tahun. Ia dan suaminya hanya berpikir sungai sebagai bahaya tapi tidak pernah sampai ke rumah mereka. Ia mengaku tidak pernah mendengar apa-apa tentang risiko tanah longsor.

Namun Juru bicara Kota, Manuel Pocasangre mengatakan pihak berwenang setempat telah memperingatkan warga tentang bahaya namun penduduk tidak ingin meninggalkan rumah mereka.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement