Rabu 27 Sep 2017 09:08 WIB

Krisis Rohingya dan Proyek Puluhan Triliun Cina di Rakhine

Rumah-rumah terbakar di desa Gawdu Zara, negara bagian Rakhine utara, Myanmar, Kamis, (7/9). Wartawan melihat api baru terbakar di desa yang telah ditinggalkan oleh Muslim Rohingya,
Foto: AP Photo
Rumah-rumah terbakar di desa Gawdu Zara, negara bagian Rakhine utara, Myanmar, Kamis, (7/9). Wartawan melihat api baru terbakar di desa yang telah ditinggalkan oleh Muslim Rohingya,

REPUBLIKA.CO.ID, RAKHINE -- Krisis Rohingya di Rakhine, Myanmar, ditengarai tak luput dari motif ekonomi. Menurut tiga pakar kepada Times of India, Selasa (26/9), Cina akan mengeblok semua upaya internasionalisasi krisis pengungsi Rohingya karena memiliki ambisi untuk berinvestasi dan membangun kontruksi  senilai 7,3 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 97,693 triliun di Rakhine.

Irene Chan, peneliti Program Cina di Rajaratnam School of International Studis di Singapura mengatakan, Cina berinvestasi 7,3 miliar dolar AS di proyek laut dalam di Rakhine. Mereka juga berencana untuk membangun kawasan industri dan zona ekonomi khusus di kawasan itu.    "Saya kira masalah investasi ini lebih diutamakan bagi orang Cina dibanding masalah kemanusiaan," ujarnya, kemarin.

Reuters melaporkan dokumen pejabat Cina menyebut, konsorsiom yang dipimpin oleh koorporasi Cina, CITIC, akan memiliki saham antar 70 dan 85 persen di proyek laut dalam. Proyek ini akan mendukung program One Belt One Road (OBOR) Cina dan menghubungkannya dengan Teluk Benggala.

Ini ditengarai menjadi alasan mengapa Cina mendukung otoritas Myanmar dan tak mau mencampuri persoalan krisis kemanusiaan di wilayah Rakhine yang menjadi rumah bagi Muslim Rohingya.

Murray Hiebert, wakil Direktor Program Asia Tenggara di Centre for Strategic and International Studies di Washington mengatakan kepada Times of India, "Cina secara jelas mendukung pemerintah Myanmar dalam merespons serangan yang dilakukan kelompok Rohingya Preservation Army. Cina mengatakan kepada Myanmar akan mendukung kedaulatan mereka."

Cina, kata ia, juga menjelaskan hal ini kepada PBB. Beijing secara aktif menolak upaya negara-negara lain yang ingin menggunakan DK PBB untuk menekan Yangon.  "Cina menolak segala macam resolusi atau semacam tekanan lainnya di DK PBB," ujar Hiebert.

Setidakya  400 warga Rohingya telah terbunuh dan 400 ribu lainnya mengunggi sejak operasi militer yang dilakukan tentara Myanmar di Rakhine Agustus lalu. Kalangan internasional telah mengecam aksi Myanmar tersebut, dan meminta agar PBB bertindak.  "Cina tidak pernah mengecam tindakan terhadap Muslim Rohingya," ujar Heibert.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement