Selasa 30 Aug 2016 05:15 WIB

Perdebatan Burkini di Prancis Sarat Politik

Rep: Kabul Astuti/ Red: Bilal Ramadhan
Wanita mengenakan baju renang Muslim yang tertutup penuh atau burkini di Pantai Marseilles, Prancis.
Foto: Reuters
Wanita mengenakan baju renang Muslim yang tertutup penuh atau burkini di Pantai Marseilles, Prancis.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Jelang pemilihan presiden tahun depan, isu pelarangan burkini telah berkembang sangat politis di Prancis. Sejumlah pemimpin kelompok sayap kanan menyerukan larangan penggunaan pakaian renang tertutup yang identik dengan perempuan Muslim itu.

"Pertama, kita harus mengakhiri perdebatan atas burkini yang tidak masuk akal," kata Kepala Observatory Against Islamophobia, Abdallah Zekri, dilansir dari Associated Press, Selasa (30/8).

Dia mengatakan kepada wartawan bahwa beberapa orang ingin menggunakan burkini untuk menstigmatisasi umat Islam. Sementara itu, para politisi mencari-cari perkara yang dapat menarik hati simpatisan untuk melenggang maju ke pemilihan presiden Prancis 2017.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Prancis, Bernard Cazeneuve, sudah menyatakan tidak sepakat dengan pelarangan burkini. Cazeneuve mengatakan pelarangan burkini akan meningkatkan ketegangan antarkomunitas.

Zekri juga menyayangkan perekrutan pemuda Muslim untuk menjadi pengikut ISIS. Hal ini dapat menjadi bumerang bagi Muslim. Lebih banyak Muslim Prancis bergabung dengan jajaran ISIS ketimbang negara-negara Eropa lainnya.

Setidaknya 600 warga Prancis di Suriah atau Irak, 160 lainnya tewas dan 1800 mempertimbangkan kembali pulang. Cazeneuve menyampaikan beberapa langkah-langkah keamanan untuk melawan perambahan ekstrimis.

Hingga triwulan ketiga tahun ini, Prancis telah mengusir 15 orang asing  yang dianggap sebagai ancaman. Sebanyak enam di antaranya diusir pada bulan Agustus. Sekitar 20 masjid atau musolah yang dianggap menyimpan bibit radikalisme telah ditutup dalam beberapa bulan terakhir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement