Selasa 30 Aug 2016 06:12 WIB

Sindrom 'Takut Miskin' TKI di Negeri Ginseng

Wakil Menteri Luar Negeri RI AM Fachir berbincang dengan TKI di Seoul, Korsel, akhir pekan lalu.
Foto: REPUBLIKAFOTO/Andri Saubani
Wakil Menteri Luar Negeri RI AM Fachir berbincang dengan TKI di Seoul, Korsel, akhir pekan lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, Laporan wartawan Republika.co.id Andri Saubani dari Seoul, Korea Selatan

Zainul Arifin (28 tahun) tak akan pernah lupa kejadian menyakitkan itu saat ia tiba-tiba batuk parah pada suatu malam awal 2015. Terus-terusan batuk sampai akhirnya Arifin ambruk di kamar mess tempat ia bekerja di pabrik Seewon Ltd, pabrik pemroduksi mesin pendingin di Ansan, Korea Selatan (Korsel).

“Batuk seperti wahing dan dada sakit sekali,” kata Arifin, kepada Republika.co.id, di Seoul, akhir pekan lalu.

Rekan kerja dan pihak perusahaan pun kemudian membawa Arifin ke rumah sakit terdekat. Baru dua bulan Arifin bekerja menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Korea, vonis dokter harus diterimanya. Arifin didiagnosis kanker limfa. “Padahal saya lolos medical check-up di Indonesia,” imbuhnya.

Sempat pasrah atas kondisinya yang harus terbaring dirawat di rumah sakit, perusahaan tempat Arifin bekerja memutuskan tidak memecat pria asal Banyuwangi itu. Malahan, pihak Seewon Ltd menjamin pengobatan dan perawatan Arifin, meski dia harus rela upahnya tidak diterima dalam jumlah penuh sesuai hak.

Setelah menjalani rawat inap selama dua bulan dan pengobatan intensif selama enam bulan, Arifin pada Jumat (26/8), hadir di Wisma Duta KBRI Seoul sebagai tamu undangan. Pada malam itu, KBRI Seoul menggelar acara penganugerahan Ambassador Award untuk perusahaan-perusahaan di Korsel yang dinilai memberikan perlakuan dan perlindungan terbaik bagi tenaga kerja Indonesia.

Seewon Ltd menjadi salah satu yang meraih penghargaan. CEO Seewon Ltd Oh Il-sung mengapresiasi Ambassador Award yang baru pertama kali diselenggarakan ini. “Perusahaan kami dapat berjalan lancar karena peran TKI,” kata Il Sung. 

Bersama Arifin, Il Sung menerima plakat penghargaan dari Duta Besar Indonesia untuk Korsel John A Prasetio.

Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir yang memang tengah berada di Korsel terkait kunjungan diplomatiknya menyatakan, TKI yang berkesempatan bekerja di Korsel adalah WNI yang sangat beruntung. Alasannya, pemerintah Korsel menjamin perlindungan dan hak pekerja asing melalui undang-undang khusus. Selain itu, penghasilan TKI di Korsel adalah salah satu yang terbesar.

“TKI di sini harus bersyukur dua sampai tiga kali,” kata Fachir.

Gaji TKI di Korsel itu setara dengan upah minimum regional (UMR) atau sekitar Rp 13,5 juta. Jika rajin lembur kerja, setiap TKI bisa mengantongi upah hingga maksimal Rp 22 juta per bulan. 

Kepada Republika.co.id, Arifin mengaku bisa memperoleh rata-rata gaji Rp 14 juta per bulan. Itu belum ditambah jaminan kesehatan seperti yang telah dirasakannya.

Namun, gaji yang relatif fantastis jika dibandingkan dengan upah buruh di Indonesia itu bukannya tanpa efek negatif. Banyak TKI seperti gegar pendapatan. Tidak sedikit kemudian yang berfoya-foya. Pada saat tenggat waktu harus pulang ke Tanah Air tiba, di antara TKI malah jatuh miskin sehingga memilih menetap (overstay) di Negeri Ginseng.

Seorang TKI lain asal Cirebon, Mohammad Pachrul Islam mengaku telah bekerja di pabrik perakitan alat-alat elektronik merek LG sejak 2005. Pachrul menolak disebut sebagai overstayer karena setiap periode ia pulang ke Tanah Air dan kemudian mendapatkan kesempatan untuk kembali bekerja di Korsel.

Pachrul mengakui ditawari jabatan oleh bosnya di Korsel untuk bekerja di pabrik LG di Indonesia. “Saya akan selesai di sini dan pulang pada 2017,” ujarnya.

Menurut Penanggung Jawab Konsuler dan Perlindungan WNI KBRI Seoul, M Aji Surya, jumlah TKI pada kisaran 37 ribu yang tersebar di 513 perusahaan. Adapun, jumlah overstayer TKI pada angka tujuh ribu orang.

Permasalah inilah yang kini sedang coba diatasi oleh pihak KBRI Seoul. Alasannya, overstayer menyebabkan calon TKI lain yang menunggu giliran di Indonesia menjadi hilang merasakan kesempatannya. Program-program pemberdayaan atau pelatihan wiraswasta sebelum TKI pulang pun dilaksanakan. “Masalah terbesarnya adalah takut miskin atau pulang tapi tidak punya pendapatan sebesar di Korea,” kata Aji.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement