Senin 20 Feb 2017 15:35 WIB

Persahabatan Imigran Muslim dan Nasrani di Ohio

Rep: Reza Irfa Widodo/ Red: Teguh Firmansyah
Anak imigran AS (ilustrasi)
Foto: REUTERS/Lucy Nicholson
Anak imigran AS (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, TOLEDO -- Meski memiliki agama yang berbeda, Nashwaan Sadoon dan Amjad Arafeh tidak sungkan untuk saling bercanda dan tertawa bersama. Sadoon dan Arafeh adalah dua imigran asal Timur Tengah yang datang ke Toledo, sebuah kota di Negara Bagian Ohio, Amerika Serikat.

Sadoon adalah penganut Nasrani asal Irak. Adapun Arafeh merupakan Muslim yang berasal dari Suriah. Sadoon terpaksa meninggalkan negaranya setelah sempat menjadi tawanan ISIS.  Sedangkan Arafeh memilih pergi dari Suriah lantaran perang yang berkecamuk di negara tersebut dalam beberapa tahun terakhir.

Persabatan kedua terjalin lima bulan lalu, saat mereka tiba di Toledo, Ohio. Bahkan, mereka tinggal di gedung apartemen yang sama. Keduanya merasa senasib lantaran sebagai pengungsi di Negeri Paman Sam. Keduanya pun secara rutin menghadiri pertemuan bulanan yang digelar komunitas imigran asal Timur Tengah di Amerika Serikat.

Pertemuan itu disebut Pertemua Sawa. Sawa dalam bahasa arab berarti ebersamaan. Pertemuan ini bertujuan untuk memberikan wadah kepada para pengungsi asal Timur Tengah untuk bisa diterima oleh masyarakat Amerika Serikat. Para pengungsi asal Timur Tengah memang harus mengandalkan satu sama lain guna bisa membantu mereka berbaur dengan warga Amerika Serikat.

Sadoon pun merasakan ada perbedaan terkait sikap Muslim di Amerika Serikat dibanding Timur Tengah. ''Muslim di sini sangat berbeda dengan di Timur Tengah. Saya memiliki banyak teman Muslim di Toledo, dari Suriah, Yordania, dan Sudan. Hubungan antara kami benar-benar berbeda di sini,'' ujar Sadoon seperti dikutip The Atlantic, Senin (20/2).

Di Timur Tengah, khususnya Irak, kata Sadoon, perbedaan agama bisa berarti perkara hidup dan mati. Sadoon merasakan betul saat ia ditawan oleh ISIS karena beragama Nasrani. Beruntung, Sadoon dapat bertahan dan akhirnya bisa melarikan diri. Sebagai penganut agama minoritas di Irak, Sadoon memang kerap mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan.

Namun, kondisi tersebut berbeda di Amerika Serikat. Di lokasi yang baru, pengungsi Muslim dan Nasrani saling bahu-membahu, setidaknya untuk membangun kehidupan yang baru. ''Di sini orang-orang Arab dan Timur Tengah dapat berinteraksi secara lebih terbuka. Persahabatan saya dengan Muslim di sini, tidak mungkin saya dapatkan di Irak,'' kata Sadoon.

Sementara Arafeh mengaku lebih optimis untuk kembali membangun hidupnya. Tidak seperti di Suriah, yang tengah dilanda konflik. Arafeh pun mengomentari kebijakan Presiden AS, Donald Trump, yang melarang imigran asal tujuh negara Muslim ke AS.

''Saya tidak khawatir dengan kebijakan Trump. Penindasan dan kekerasan yang terjadi di sana (Suriah) lebih parah dibanding di sini. Saya telah bertemu orang-orang baik di sini. Jadi saya tidak takut apapun,'' tutur Arafeh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement