Ahad 19 Mar 2017 06:33 WIB

Perang Saudara Sebabkan Kelaparan di Sudan Selatan

Rep: Crystal Liestia Purnama/ Red: Bilal Ramadhan
Sedikitnya 3.000 warga Sudan Selatan mengungsi di komplek PBB di Tomping, Juba, Sudan Selatan
Foto: Beatrice Mategwa/UNMISS via AP
Sedikitnya 3.000 warga Sudan Selatan mengungsi di komplek PBB di Tomping, Juba, Sudan Selatan

REPUBLIKA.CO.ID, JUBA -- Laporan PBB menyebutkan pemerintah Sudan Selatan menghabiskan setengah dari anggaran negara untuk belanja senjata. Sementara 100 ribu warganya meninggal dunia dalam bencana kelaparan yang disebabkan terutama oleh peningkatan operasi militer pemerintah.

Laporan itu menyerukan embargo senjata di Sudan Selatan. Langkah tersebut telah didukung oleh Amerika Serikat. Namun ditolak oleh Dewan Keamanan saat pemungutan suara (voting) pada bulan Desember lalu.

Pendapatan negara di Afrika Timur itu sebagian besar dari minyak. Namun separuh, bahkan lebih dianggarkan ke pos keamanan, termasuk belanja senjata. Padahal kelaparan yang diderita warganya lebih disebabkan karena kampanye militer Presiden Salva Kiir.

"Senjata terus mengalir ke Sudan Selatan dari berbagai sumber, seringkali dengan koordinasi negara-negara tetangga," kata laporan oleh panel ahli PBB," dikutip dari Al Araby, Sabtu (18/3).

Para ahli menemukan bukti dominan yang menunjukkan pengadaan lanjutan senjata oleh kepemimpinan di Juba untuk tentara, layanan keamanan, milisi dan lainnya yang terkait. Laporan setebal 48 halaman itu juga menunjukkan penghasilan pemerintah Sudan Selatan dari minyak sebanyak 243 juta dolar AS, dihitung dari akhir Maret sampai akhir Oktober 2016.

"Sebagian besar bukti menunjukkan bahwa kelaparan di Negara Kesatuan itu dihasilkan dari konflik berkepanjangan. Dan khususnya, dampak kumulatif dari operasi militer berulang yang dilakukan oleh pemerintah dalam Kesatuan selatan yang dimulai sejak 2014," kata laporan itu.

Lebih nahas lagi, pemerintah memblokir akses bagi pekerja bantuan kemanusiaan, dan bantuan untuk krisis pangan. Sedangkan perpindahan penduduk yang signifikan akibat peperangan juga berkontribusi terhadap kelaparan.

Warga lebih memilih meninggalkan kamp dan rumahnya dan tinggal di pulau-pulau kosong daripada harus mendapatkan siksaan. Meningkatnya pertempuran sejak Juli tahun lalu juga merusak lahan pertanian potensial yang semakin memperparah kelaparan.

Bahkan para ahli memprediksi, jika sampai Juli mendatang krisis pangan itu tak diatasi, maka kematian akibat kelaparan bisa mencapai angka 5,5 juta jiwa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement