Jumat 24 Mar 2017 09:03 WIB

Survei: Satu Dari Tiga Muslim AS Khawatir Terhadap Keselamatan Mereka

Rep: Marniati/ Red: Esthi Maharani
Muslim Amerika
Muslim Amerika

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON --- Mayoritas Muslim Amerika mengalami diskriminasi keagamaan selama 2016. Sebuah penelitian baru yang dilakukan Institute for Social Policy and Understanding (ISPU) menemukan fakta, kebanyakan Muslim Amerika merasa takut terhadap keselamatan mereka sendiri atau keselamatan keluarga mereka dari kelompok kebencian setelah terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS.

Seperlima dari Muslim Amerika telah menyiapkan rencana jika suatu saat mereka harus meninggalkan AS karena situasi yang semakin tidak kondusif. ISPU melakukan jajak pendapat kepada 800 Muslim pada Januari lalu. 60 persen Muslim melaporkan bahwa mereka secara pribadi pernah mengalami diskriminasi agama dalam satu tahun terakhir, dibandingkan dengan 17 persen dari populasi umum di AS.

Dewan juru bicara dari American-Islamic Relations (CAIR), Zainab Chaudry mengatakan kampanye kebencian yang diarahkan Trump kepada muslim telah menimbulkan ketakutan.

"Kami melihat bahwa beberapa minggu setelah pemilu, perhatian, kecemasan dan ketakutan, sangat nyata,” ujar Chaudry seperti dilansir nation.com.pk (23/3).

Ia menjelaskan, adanya penerbitan perintah eksekutif Trump yang  melarang wisatawan dari beberapa negara mayoritas Muslim serta menunjuk penasihat yang memiliki pandangan anti-Islam juga ikut menyebar Islamofobia di AS yang berdampak pada  meningkatnya kejahatan kebencian terhadap Muslim.

Sementara itu, Direktur Newseum Institute’s Religious Freedom Centre, Charles Haynes menerangkan dari awal  siklus pemilihan presiden sangat memecah belah  bahkan hingga saat ini.  Muslim Amerika telah menjadi pusat perdebatan sosial dan politik.

Menurut dia, kampanye propaganda untuk meyakinkan publik Amerika bahwa Islam adalah agama jahat dan penuh kekerasan telah dilakukan selama lebih dari 15 tahun. Sehingga umat Islam harus dikaitkan dengan terorisme dan menimbulkan ketakutan di masyarakat.

 "Bahkan dalam koridor kekuasaan sekarang, narasi ini, propaganda ini sudah menjadi hal yang biasa,” kata Haynes.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement