Kamis 30 Mar 2017 04:35 WIB

Kesepakatan UE Jadi Tantangan Terbesar Inggris dalam Dua Tahun ke Depan

Perdana Menteri Inggris Theresa May telah menandatangani surat pengaktifan Pasal 50 Uni Eropa pada Selasa (28/3). Hal ini menandakan Inggris telah memulai proses hengkangnya dari Uni Eropa atau dikenal dengan istilah Brexit.
Foto: Christopher Furlong/Pool Photo via AP
Perdana Menteri Inggris Theresa May telah menandatangani surat pengaktifan Pasal 50 Uni Eropa pada Selasa (28/3). Hal ini menandakan Inggris telah memulai proses hengkangnya dari Uni Eropa atau dikenal dengan istilah Brexit.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Perdana Menteri (PM) Inggris Theresa May menyadari bahwa memenuhi tenggat waktu dua tahun untuk mencapai kesepakatan terkait masa depan Inggris dengan blok Uni Eropa (UE) akan merupakan tantangan tersendiri.

"Kami mengakui bahwa itu akan merupakan tantangan untuk mencapai perjanjian komprehensif dalam jangka waktu dua tahun yang telah ditetapkan untuk pembahasan perjanjian pengunduran diri," kata May dalam sebuah surat kepada Presiden Dewan Uni Eropa Donald Tusk yang secara resmi memulai periode negosiasi.

"Tapi kami percaya perlu untuk menyetujui persyaratan kemitraan masa depan kami bersama pengunduran diri kami dari Uni Eropa," kata May dalam teks surat itu, yang didistribusikan oleh kantornya, Rabu (29/3), seperti dilansir Reuters.

Perdana Menteri May resmi mengajukan surat pengunduran diri negaranya dari Uni Eropa pada Rabu (29/3). Surat itu akan menjadi awal proses negosiasi alot mengenai syarat-syarat keluarnya Inggris selama beberapa tahun mendatang, yang menjadi ujian bagi ketahanan Uni Eropa.

Sembilan bulan setelah warga Britania Raya memilih untuk keluar, May akhirnya menyerahkan surat kepada Presiden Dewan Uni Eropa Donald Tusk bahwa negaranya akan keluar dari organisasi tempat Inggris telah menjadi anggota sejak 1973. Perdana menteri kini mempunyai waktu dua tahun untuk merundingkan syarat-syarat perpisahan sebelum Inggris benar-benar keluar dari Uni Eropa pada Maret 2019.

Namun selain harus menghadapi perundingan keras dengan negara-negara Uni Eropa lain terkait masalah keuangan, perdagangan, tenaga kerja, dan keamanan, May juga harus mengatasi potensi perpecahan yang kini membayang di kerajaan yang menaungi empat negara tersebut (Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara). Skotlandia kini sudah mengajukan permohonan referendum untuk merdeka dari Britania Raya.

Hasil dari perundingan dengan Uni Eropa akan menentukan masa depan negara dengan perkonomian terbesar kelima di dunia tersebut, terutama terkait status London sebagai salah satu dari dua pusat keuangan global.

Sementara itu bagi Uni Eropa yang juga tengah mengalami masalah krisis utang dan pengungsi, keluarnya Inggris akan menjadi pukulan telak bagi organisasi yang telah berusia 60 tahun tersebut.

Para pemimpin Uni Eropa kini tengah menghadapi dilema. Di satu sisi mereka tidak ingin menghukum Inggris (dengan menerapkan pajak perdagangan sebagai balasan atas pembatasan tenaga kerja asing). Namun di sisi lain, mereka juga harus tidak boleh terlalu banyak memberi keleluasaan bagi Inggris karena akan menjadi senjata bagi kelompok anti-Uni Eropa untuk memperjuangkan hal yang sama.

Dalam waktu 48 jam ke depan, Dewan Uni Eropa akan mengirim rancangan panduan perundingan bagi 27 negara anggota. Tusk akan menanggapi permohonan Inggris di Malta.

May berjanji kepada warga Inggris bahwa mereka masih akan tetap punya akses terhadap pasar tunggal sekaligus menerapkan pembatasan pekerja asing dari negara-negara Eropa timur. Namun di sisi lain, para pejabat Uni Eropa mengatakan bahwa kedua hal tersebut (perdagangan dan pergerakan bebas) tidak bisa dipisahkan.

Hingga kini, warga Inggris masih bertanya-tanya soal apakah para eksportir masih akan mendapatkan fasilitas tarif bebas dalam pasar tunggal, dan apakah bank-bank dari negara tersebut masih bisa dengan bebas melayani pelanggan dari anggota Uni Eropa.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement