Selasa 04 Apr 2017 06:47 WIB

Pekerja Muslim Jadi Korban Salah Tangkap dan Dituduh Teroris di Inggris

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Agus Yulianto
Petugas Kepolisian London (Ilustrsi)
Foto: EPA
Petugas Kepolisian London (Ilustrsi)

REPUBLIKA.CO.ID, LUTON -- Kepolisian Metropolitan tengah menyelidiki kasus salah tangkap pekerja Muslim. Korban ditahan dan dicurigai terlibat kegiatan teroris saat hendak melakukan perjalanan liburan kelurarga ke Turki.

Dilansir dari Guardian, Senin (3/4), pria 35 tahun dari Luton, yang telah meminta untuk tidak disebutkan namanya demi melindungi lima anaknya, meminta Polisi Metropolitan melakukan permintaan maaf. Ia merasa, karirnya ternoda akibat penangkapan yang menimpanya.

"Saya terkejut, saya tidak pernah ditangkap atau bermasalah dengan polisi dalam hidup saya. Saya hanya menangis ketika mereka mengatakan itu kepada saya," kata korban.

Keluarga korban tengah dalam perjalanan mereka untuk liburan ke Turki, ketika diberhentikan petugas yang mengaku berasal dari bagian kontra terorisme. Parahnya, korban dan istrinya ditangkap karena disebut dicurigai melakukan persiapan atas tindakan terorisme.

"Jika polisi dapat melakukan ini untuk seseorang seperti saya, maka tidak ada yang aman. Saya meyakini menjadi target karena agama saya, tidak ada alasan lain. Terlalu takut kembali ke bandara dan tidak berpikir saya akan pernah terbang lagi," ujar korban.

Keluarga korban memang telah berencana liburan di Turki, dan di menit terakhir korban bersama istri dan lima anaknya memutuskan bergabung. Ia mencari tiket online paket murah hotel sama dengan kerabatnya, lalu mendapat penerbangan ke Turki dengan EasyJet dan pulang ke Luton dengan Thomson.

Ketika tiba di Bandara Luton 26 Oktober tahun lalu, Polisi menangkapnya atas atas UU Terorisme tahun 2000, dengan kekuasaan luas untuk mencari individu di pelabuhan, bandara dan stasiun kereta api. Ia dituduh hendak pergi ke Suriah, untuk bergabung dengan ISIS.

Terpaksa, ia menunjukkan semua dokumen perjalanan, termasuk tiket pulang dan menjelaskan kenapa ia pulang dari Turki dengan maskapai berbeda. Korban bahkan telah menyerahkan telepon dan pinnya, dan mempersilakan polisi mencari apa saja yang mereka inginkan.

Tapi, korban malah diborgol dan polisi memperlakukannnya seperti binatang selama ditahan di bandara. "Saya meminta mereka melepas borgol, tapi malah seorang perwira disuruh menemani saya ke bilik toilet, menurunkan celana saya agar saya bisa ke toilet," kata korban.

Korban lalu dibawa ke Kepolisian Southwark di London, dan rumahnya digerebek polisi seketika setelah ia mendapat izin menelpon adiknya. Tapi, di kantor polisi, ia kembali mendapat pertanyaan sebelum akhirnya baru bisa dilepaskan pada hari berikutnya.

"Polisi bertanya apa pandangan saya tentang ISIS, saya bilang saya punya pandangan negatif kepada mereka, saya tinggal di negara demokratis. Agama kita tentang perdamaian dan ketenangan, tidak mempromosikan prinsip-prinsip ISIS," ujar korban.

Attiq Malik, pengacaranya dari Liberty Law Solicitors, mengaku, telah mengeluhkan persoalan ini. Terlebih, kliennya ditangkap secara tidak sah, ditahan, dan dipenjarakan atas tuduhan palsu yang tentu saja telah melanggar hak asasi manusianya. "Saya khawatir, orang-orang yang menjadi target didasari ras dan agama," kata Malik.

Sepanjang 2015-2016, 28.083 orang telah diberhentikan dan diperiksa di bawah pasal yang sama. Mereka yang ditahan, 36 persen merupakan orang Asia, delapan persen kulit hitam dan 12 persen kulit putih. Juru bicara Kepolisian sendiri telah mengkonfirmasi ada penangkapan tersebut tahun lalu.

"Keduanya ditebus untuk kembali ke kantor polisi, mereka dibebaskan dari jaminan tanpa tindakan lebih lanjut. Pria dan wanita itu telah membuat keluhan resmi ke Kepolisian, yang mengacu kepada tim kontra-terorisme," kata juru bicara Kepolisian Metropolitan tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement