Kamis 06 Apr 2017 10:24 WIB

AS: Rusia Harus Berpikir Ulang untuk Suriah

Rep: Puti Almas/ Red: Bilal Ramadhan
Foto yang diambil kelompok antipemerintah Suriah Edlib Media Center yang telah diautentifikasi menunjukkan dokter menangani seorang anak menyusul dugaan serangan kimia di Kota Khan Sheikhoun, Idlib, Suriah, 4 April 2017.
Foto: Edlib Media Center, via AP
Foto yang diambil kelompok antipemerintah Suriah Edlib Media Center yang telah diautentifikasi menunjukkan dokter menangani seorang anak menyusul dugaan serangan kimia di Kota Khan Sheikhoun, Idlib, Suriah, 4 April 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Rex Tillerson mengatakan Rusia harus berpikir ulang untuk mendukung Pemerintah Suriah yang dipimpin oleh Presiden Bashar Al Assad. Pernyataan ini datang terkait dugaan serangan senjata kimia yang kembali terjadi di salah satu negara Timur Tengah itu.

Tillerson meyakini bahwa Pemerintah Suriah berada di balik serangan yang terjadi di salah satu kota yang dikuasai oleh oposisi negara itu, Khan Sheikhoun, Provinsi Idlib. Setidaknya 86 orang dilaporkan tewas, termasuk 20 diantaranya adalah anak-anak.

"Rezim Assad pasti berada di balik serangan senjata kimia yang mengerikan ini, kami tidak memiliki keraguan bahwa ia harus bertanggung jawab," ujar Tillerson, dilansir Al Araby, Kamis (6/4).

Dari foto-foto yang dirilis, terlihat banyak yang kesulitan bernapas dan kejang-kejang. Bahkan, beberapa mulut mereka berbusa, sebagai dugaan dampak dari racun kimia. Serangan senjata kimia kali ini disebut yang terburuk terjadi dalam konflik hampir enam tahun di Suriah.

Rusia, sebagai salah satu negara pendukung rezim Assad memulai intervensi militer pada September 2015. Pasukan Rusia bersama dengan Pemerintah Suriah berupaya meningkatkan serangan untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang dikuasai oposisi. Di antaranya adalah Aleppo dan Idlib, yang menjadi basis utama pihak-pihak penentang Assad.

Sebelumnya, sebuah penyelidikan yang dilakukan PBB bersama dengan Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) pada Oktober 2016 menemukan bukti militer Suriah menggunakan bom klorin dalam beberapa kali serangan sepanjang konflik selama hampir enam tahun. Serangan dengan senjata kimia ini diperkirakan terjadi sekitar 2014 dan 2015 lalu.

"Rusia sudah seharusnya berpikir untuk melanjutkan dukungan mereka terhadap rezim Assad," kata Tillerson.

Sebelumnya, Kementerian Pertahanan Rusia memberikan pernyataan terkait dugaan serangan senjata kimia terbaru di Suriah. Menurut pihaknya, serangan udara yang terjadi pada Selasa (4/4) lalu diluncurkan untuk menargetkan sebuah tempat yang menjadi lokasi produksi senjata kimia berbahaya.

Tempat itu diyakini merupakan sejenis laboratorium atau gudang. Kelompok oposisi Suriah disebut tengah membuat proyektil yang diisi dengan bahan kimia beracun. Di sana juga menjadi penyimpanan amunisi utama organisasi teroris dan persenjataan yang mungkin dimiliki oleh militer.

Diduga gudang atau laboratorium itu, senjata kimia yang diproduksi juga didistribusikan kepada kelompok militan di Irak. Sebelumnya, senjata kimia seperti agen sulfur mustard dikonfirmasi pernah digunakan oleh Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) untuk melumpuhkan lawan-lawan mereka.

Serangan senjata kimia yang terjadi di Suriah kali ini diduga menggunakan dua jenis bahan kimia. Dari keterangan sejumlah dokter dari lembaga amal Without Borders (Medecins sans Frontieres), mereka menemukan gejala korban yang terkena racun agen saraf jenis klorin, dengan terciumnya bau pemutih di rumah sakit.

Tetapi, dugaan penggunaan bahan kimia gas sarin juga terlihat dari gejala korban yang terkena paparan racun. Jenis bahan kimia ini adalah agen saraf yang tidak berbau dan berwarna.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement