Sabtu 22 Apr 2017 18:16 WIB

Rusia Keberatan tak Dilibatkan Penyelidikan Senjata Kimia Suriah

Rep: Puti Almas/ Red: Bilal Ramadhan
Foto yang diambil kelompok antipemerintah Suriah Edlib Media Center yang telah diautentifikasi menunjukkan dokter menangani seorang anak menyusul dugaan serangan kimia di Kota Khan Sheikhoun, Idlib, Suriah, 4 April 2017.
Foto: Edlib Media Center, via AP
Foto yang diambil kelompok antipemerintah Suriah Edlib Media Center yang telah diautentifikasi menunjukkan dokter menangani seorang anak menyusul dugaan serangan kimia di Kota Khan Sheikhoun, Idlib, Suriah, 4 April 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Pemerintah Rusia menyampaikan keberatan atas penolakan dari Amerika Serikat (AS) agar pihak dari negaranya turut melakukan penyelidikan atas dugaan serangan senjata kimia di Suriah. Saat ini, investigasi mengenai serangan dengan sejata berbahaya tersebut tengah diluncurkan oleh AS bersama dengan Organisasi Larangan Senjata Kimia (OPCW).

Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dilaporkan telah menghubungi Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson atas keberatan itu pada Jumat (21/4). Keduanya disebut sepakat mempertimbangkan kembali dilakukannya investigasi secara objektif atas insiden yang terjadi di Suriah pada 4 April lalu.

Dalam kejadian itu, penggunaan senjata kimia diduga kembali dilakukan oleh Pemerintah Suriah. Serangan terjadi di salah satu kota yang dikuasai oposisi negara itu, tepatnya di Khan Sheikhoun, Provinsi Idlib.

Setidaknya lebih dari 80 orang tewas. Dari laporan, korban yang terkena serangan tersebut menjadi kesulitan bernapas dan kejang-kejang. Bahkan, beberapa diantaranya mengeluarkan busa dari mulut, sebagai dampak dari dugaan diluncurkannya racun kimia.

AS menuding Pemerintah Suriah berada di balik serangan tersebut. Salah satu alasannya didasarkan oleh sebuah penyelidikan yang dilakukan PBB bersama dengan OPCW pada Oktober dengan 2016 lalu.

Saat itu, ditemukan bukti militer Suriah menggunakan bom klorin. Mereka melakukan beberapa kali serangan itu sepanjang konflik di negara itu sejak 2011 lalu, namun kejadian berlangsung sekitar pada 2014 dan 2015 lalu.

Presiden Suriah Bashar Al Assad kemudian diduga terkait langsung dengan perintah penggunaan senjata kimia. Ia disebut oleh penyelidik internasional bertanggung jawab bersama dengan saudara laki-lakinya karena melakukan salah satu jenis kejahatan perang itu.

Penggunaan senjata kimia dilarang di bawah hukum internasional dan termasuk dalam kategori kejahatan perang. Penyelidikan yang dilakukan saat ini di Suriah tidak memiliki kekuatan hukum. Suriah juga bukan merupakan anggota dari Pengadilan kriminal Internasional (ICC). Namun, dugaan kejahatan perang dapat dirujuk ke ICC melalui Dewan Keamanan PBB.

Pada 2013 lalu, Pemerintah Suriah pernah membuat kesepakatan untuk menghancurkan seluruh senjata kimia yang negara itu miliki. Perjanjian untuk melakukan tindakan itu ditengahi oleh Rusia dan AS.

Pemerintah Suriah telah membantah secara tegas terlibat di balik dugaan serangan dengan senjata kimia yang terjadi selama konflik berlangsung di negaranya. Sementara itu, sekutu utama rezim Assad, Rusia menjelaskan bahwa serangan udara yang terjadi adalah serangan udara untuk menargetkan gudang atau laboratorium yang menjadi tempat produksi senjata kimia oleh kelompok oposisi serta militan di Provinsi Idlib.

Bahkan, dari gudang atau laboratorium itu, senjata kimia yang diproduksi juga didistribusikan kepada kelompok militan di Irak. AS dan Rusia selama ini berada di pihak berlawanan dalam konflik Suriah. Mantan musuh pada era Perang Dingin itu memiliki perselisihan panjang hingga saat ini.

Harapan kedua negara memiliki hubungan baik saat AS dipimpin oleh Presiden Donald Trump juga nampaknya hilang. Trump yang sempat mempertimbangkan kerjasama dengan Pemerintah Suriah mengatakan sikapnya telah berubah atas dugaan penggunaan senjata kimia oleh rezim Assad dan negaranya siap melakukan tindakan sepihak untuk mengatasi hal itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement