Rabu 26 Apr 2017 11:14 WIB

KTT ASEAN Diperkirakan Bahas Perdagangan dan Laut Cina Selatan

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
ASEAN (ilustrasi)
ASEAN (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Isu perdagangan dan sengketa wilayah Laut Cina Selatan tampaknya akan menjadi isu utama dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-30 di Manila, Filipina. Pertemuan pemimpin negara-negara Asia Tenggara ini dijadwalkan akan diselenggarakan pada 29-30 April 2017.

"Kita masih harus melihat kode etik sebagai mekanisme yang berguna bagi ASEAN untuk menghadapi Cina dalam sengketa Laut Cina Selatan, karena taktik Cina adalah melakukan tindakan bilateral," kata Lee Chen Chen, Direktur Program Kebijakan di Singapore Institute of International Affairs, dikutip Channel News Asia.

Sejak 2010, Cina dan ASEAN telah membahas seperangkat aturan untuk menghindari konflik di perairan yang disengketakan. Kerangka kerja kode etik di Laut Cina Selatan itu diharapkan dapat diselesaikan pada Juni mendatang.

Wilayah Laut Cina Selatan telah diklaim oleh Cina, Taiwan, dan beberapa negara ASEAN. Sementara Cina dilaporkan telah melakukan reklamasi lebih dari 3.200 hektar lahan di perairan itu.

"ASEAN, dengan menggunakan kode etik, akan mendorong Cina untuk merundingkan isu-isu yang berkaitan dengan Laut Cina Selatan bersama negara-negara ASEAN sebagai sebuah blok regional, dan saya pikir ini akan menempatkan ASEAN dalam posisi negosiasi yang lebih kuat dengan Cina," kata dia.

Isu lain yang cenderung menjadi pusat perhatian dalam KTT ASEAN adalah Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) yang didukung Cina. Perjanjian perdagangan tersebut diperdebatkan oleh ASEAN sekitar lima tahun yang lalu dan sejak itu telah melewati 17 kali negosiasi.

Sebagai tuan rumah KTT ASEAN ke-30, Filipina berharap sebuah kesimpulan mengenai RCEP dapat dicapai di akhir tahun ini. Namun, negosiasi dinilai sangat kompleks karena melibatkan 10 negara ASEAN dan negara-negara lain seperti Cina, India, Jepang, dan Australia.

"Sangat sulit untuk melewatinya karena memerlukan kesepakatan antara Cina dan India, sebagai dua negara dengan perekonomian terbesar di kawasan ini," kata James Crabtree, seorang peneliti senior di Lee Kuan Yew School of Public Policy.

"Cina memiliki perkonomian manufaktur yang besar, India memiliki perekonomian jasa besar. Membuat kedua negara itu setuju dan kemudian membuat semua negara Asia lainnya yang terlibat juga setuju, akan sangat sulit," ungkap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement