Kamis 27 Apr 2017 05:17 WIB

Turki tidak Bisa Gabung UE dengan Konstitusi Baru

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berpidato di hadapan pendukungnya setelah hasil tak resmi referendum diumumkan di Istanbul, Ahad, 16 April 2017.
Foto: Yasin Bulbul/Presidential Press Service via AP
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berpidato di hadapan pendukungnya setelah hasil tak resmi referendum diumumkan di Istanbul, Ahad, 16 April 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Turki akan menutup pintu untuk bergabung dengan Uni Eropa jika mengadopsi perubahan konstitusional yang didukung dalam sebuah referendum pekan lalu, kata anggota parlemen Uni Eropa yang bertanggung jawab atas kesepakatan dengan Ankara pada Rabu (26/4).

Komentar Kati Piri muncul sehari setelah Presiden Tayyip Erdogan mengatakan bahwa Turki tidak akan menunggu di pintu Eropa selamanya dan dapat meninggalkan perundingan aksesi Uni Eropa jika terjadi peningkatan Islamofobia dan tetap adanya permusuhan dari beberapa negara anggota.

Anggota parlemen kiri-tengah Belanda, yang merupakan "pelapor" mengenai Turki, itu mengatakan kepada wartawan menjelang debat paripurna tentang Turki bahwa jika Erdogan mendorong semua perubahan, yang akan menambah kekuasaannya, maka Uni Eropa harus secara resmi menunda perundingan tentang keanggotaan yang telah lama tertunda itu.

"Karena Turki dengan konstitusi semacam itu tidak dapat menjadi anggota Uni Eropa, juga tidak masuk akal untuk melanjutkan pembahasan mengenai aksesi," kata Piri, mengulang pernyataan sejumlah tokoh terkemuka lainnya di legislatif, yang tahun lalu mengeluarkan sebuah resolusi yang tidak mengikat yang menyerukan penghentian proses.

Pada Senin, komisaris eksekutif Uni Eropa yang bertanggung jawab atas aplikasi keanggotaan, Johannes Hahn, meminta menteri luar negeri Uni Eropa untuk mempertimbangkan mengakhiri proses aksesi Turki saat mereka bertemu di Malta pada Jumat.

Seperti Hahn, Piri menyarankan agar Brussels bisa meningkatkan perundingan untuk meningkatkan serikat pabean yang sudah dimiliki Turki bersama Uni Eropa selama dua atau tiga tahun mendatang.  Dia mengatakan bahwa proses tersebut juga dapat memberi waktu Eropa untuk meyakinkan Turki untuk mengubah kebijakan yang menurut para pemimpin Uni Eropa merongrong demokrasi Turki.

Sementara itu, jajak pendapat telah menunjukkan keunggulan tipis bagi suara "Ya" sebagai tanda dukungan bagi referendum yang akan menggantikan demokrasi parlementer Turki dengan sebuah kepresidenan yang berkuasa penuh dan memungkinkan Erdogan berada di tampuk kekuasaan hingga sedikit-dikitnya pada 2029.

Hasil referendum juga akan membentuk hubungan yang renggang antara Turki dengan Uni Eropa (UE). Negara anggota NATO itu telah meredam arus migran, kebanyakan pengungsi dari perang-perang yang berkecamuk di Suriah dan Irak - masuk ke wilayah blok itu tetapi Erdogan menyatakan ia mungkin mengaji ulang persetujuan itu setelah pemungutan suara tersebut.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement