Selasa 09 May 2017 20:53 WIB

Kapal Karam di Laut Mediterania, Ratusan Migran Dikhawatirkan Tewas

Rep: Crystal Liestia Purnama/ Red: Agus Yulianto
Pengungsi di atas perahu yang menyeberangi Laut Mediterania (Ilustrasi)
Foto: Aljazeera
Pengungsi di atas perahu yang menyeberangi Laut Mediterania (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, ROMA -- PBB mengkhawatirkan nasib 245 migran yang menumpang di dua kapal yang karam di Laut Mediterania. Bertambahnya kasus kematian migran di Laut Mediterania ini akan menambah jumlah kematian migran yang sudah suram pada tahun ini.

Menurut data dari Organisasi Migrasi Internasional, diperkirakan terdapat lebih dari 1.300 migran yang tewas saat berjuang menuju Eropa melalui jalur laut di Laut Mediterania pada 2017 ini. Kebanyakan dari mereka berlayar dari Libya atau Tunisia dan ingin menuju Italia.

Dua kasus kapal yang tenggelam itu terjadi pada Jumat (5/5) dan Ahad (7/5) waktu setempat. Namun hingga hari ini, Selasa (9/5) belum ada laporan mengenai jumlah korban tewas.

Pada Jumat (5/5) lalu, sebuah kapal karet tenggelam setelah berjam-jam menyusuri lautan. Kapal karet itu membawa 132 migran. Sedangkan berdasarkan laporan yang dimuat New York Times, Selasa (9/5), 50 penumpang kapal itu diselamatkan dan dibawa ke Palazzo, sebuah kota di Sisilia, pada Ahad (7/5). Sementara yang lain diduga telah meninggal dunia.

Kemudian pada Ahad (7/5), sebuah kapal dilaporkan tenggelam di pantai Libya. The International Medical Corps yang bekerja dengan Badan Pengungsi PBB melaporkan seorang perempuan dan enam laki-laki berhasil diselamatkan. Sedangkan 163 migran lainnya diperkirakan sudah meninggal dunia.

Sekitar 43 ribu orang pada tahun ini telah berusaha mencapai Italia melalui jalur perairan yang berbahaya tersebut. Jalur ini menjadi jalur utama bagi migran yang melarikan diri dari perang dan kemiskinan di Afrika Utara dan Afrika Barat, dalama beberapa kasus lebih jauh ke timur.

Sebaliknya, arus migran yang melintasi Laut Aegea, dari Turki ke Yunani telah menurun secara signifikan, meskipun tidak sepenuhnya berhenti. Hal ini karena kesepakatan Turki dan Uni Eropa pada Maret 2016 untuk mengatasi bavian dari krisis tersebut.

"Kebutuhan mendesak untuk mengatasi akar permasalahan yang menyebabkan para migran itu berpindah, seperti menawarkan alternatif yang dapat dipercaya untuk penyeberangan yang berbahaya ini bagi orang-orang yang membutuhkan perlindungan internasional. Termasuk cara yang mudah diakses dan aman untuk mencapai Eropa, seperti penyatuan keluarga, relokasi dan pemukiman kembali," kata Badan Pengungsi PBB, Selasa (9/5).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement